Minggu, 20 Februari 2011

Penelitian Kebudayaan Masyarakat Pesisir Tuban

PEMBANGUNAN PESISIR(KECAMATAN PALANG TUBAN JAWA TENGAH)
Oleh: Mohamad Suandi
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menyimak perjalanan sejarah bangsa Indonesia yang pernah memiliki dua kerajaan besar yaitu Sriwijaya dan Majapahit menggambarkan kepada kita bahwa mereka maju sebagai Negara Maritim bukan sebagai Negara Agraris. Dilihat dari geografis Indonesia memiliki lautan 2/3 dari keseluruhan luas wilayah Indonesia. Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau 17.508 buah dan garis pantai sepanjang 81 ribu kilometer.
Luas wilayah laut Indonesia termasuk di dalamnya Zona Ekonomi Ekslusif sekitar 5,8 juta kilometer persegi atau sekitar 3/4 dari seluruh wilayah Indonesia (Wahyono,2001). Jika dimanfaatkan secara arif, potensi tersebut dapat mendukung tercapai kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan di sector kelautan. Dengan garis pantai sepanjang sekitar 5,8 juta km persegi (0,3 juta km persegi perairan territorial,2,8 juta km persegi perairan nusantara dan 2,7 juta km persegi Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia), wilayah pesisir dan laut Indonesia terkenal dengan kekayaan dan keanekaragaman sumber daya alamnya,baik sumber daya yang dapat pulih atau yang tidak dapat pulih. Namun saat ini terdapat kecendrungan yang mengancam kapasitas berkelanjutan (suistainable capacity) dari ekosistem tersebut, seperti pencemaran perairan, kondisi tangkap lebih (overfishing),degradasi fisik habitat pesisir utama (mangrove dan terumbu karang),dan abrasi pantai.
Pembangunan pesisir (kelautan) dalam tiga dasa warsa terakhirselalu diposisikan sebagai sector pingiran(peripheral sector) dalam pembangunan ekonomi. Dengan posisi seperti ini bidang kelautan bukan menjadi arus utama dalam kebijakan pembangunan ekonomi nasional (Kusumastanto,2003). Kondisi ini menjadi ironis mengingat hampir 75% wilayah Indonesia merupakan lautan dengan potensi yang sangat besar serta berada pada geopolitics yang sangat penting,yakni antara Lautan Pasifik dan Lautan Hindia yang merupakan jalur perdagangan internasional.




1.2. Alasan Pemilihan Topik Penelitian
Alasan penulis mengambil topic ini adalah karena penulis sendiri adalah orang pesisir, yang kedua adalah pada daerah pesisir penulis yang lahir dan tumbuh di wilayah pesisir melihat banyak potensi yang perlu di bangun untuk kemajuan Indonesia dan alasan ketiga adalah bentuk keperihatinan terhadap pembangunan di pesisir.

1.3. Perumusan Masalah
Dalam perumusan masalah pada penulisan makalah kali ini adalah tentang pembangunan pesisir yang terfokus pada orientasi politik, ketimpangan social dalam pembangunan pesisir,penetrasi kapitalis dalam pembangunan pesisir : kasus hubungan patron klien dikalangan nelayan, dan intervensi program pada komunitas nelayan dalam pembangunan kelautan.

2. LANDASAN TEORI
Dalam landasan teori pada bab ini penulis mengambil teori dari buku Teori Pembangunan Dunia Ketiga yang ditulis oleh Dr. Arief Budiman. Adapun teori tersebut sebagai alat analisa yaitu: teori dependensi klasik dan modern,teori modernisasi,sebagai komponen pokok dan teori konflik sebagai komponen penunjang.

3. PROFIL WILAYAH/GAMBARAN UMUM KASUS
3.1. Desa-Desa Pesisir: Data Demografis
Kecamatan palang berada di wilayah pesisir utara Tuban, yang berbatasan dengan sebelah timur wilayah pesisir kecamatan Brondong, kabupaten Lamongan dan di sebelah barat berbatasan dengan wilayah kecamatan Kota Tuban. Di sebelah selatan ialah kecamatan Semanding.
Sebagai wilayah pesisir,tentunya ketingian dari permukaan laut ialah 0,5 m di wilayah utara dan kira-kira 5m di wilayah selatan. Wilayah selatan Palang ialah daerah yang berkapur yang membentang di wilayah Jawa Timur bagian Utara dan Tengah, meliputi Gresik, Lamongan, Tuban dan Bojonegoro. Di kecamatan Palang terdapat wilayah dataran rendah sebanyak 95% dan wilayah perbukitan sebanyak 5%. Wilayah perbukita berada di sebelah selatan yang berbatsan dengan kecamatan Semanding.
Kecamatan Palang terdiri dari 19 desa yaitu : Panyuran, Tasikmadu, Sumurgung, Tegalbang, Kradenan, Gesikharjo, Pucangan, Cendoro, Dawung, Ngimbang, Wangun, Leran Wetan, Leran Kulon, Glodok, Karangagung, Palang, Pliwetan, Cepokerjo, dan ketambul. Di antara sekian banyak desa ini, yang termasuk desa pesisir adalah Panyuran, Tasikmadu, Kradenanan, Gesikharjo, Palang,Glodok, Karangagung, dan Leran Kulon. Kecamatan Palang dibelah oleh jalan utama yang menghubungkan antara Palang Tuban dan Lamongan dan Gresik lewat jalur pantai utara (pantura) atau yang dikenal sebagai jalan Deandels.
Jumlah penduduk Palang adalah 63.754 jiwa dengan rincian lelaki sebanyak 31.190 jiwa dan wanita sebanyak 30.564 jiwa . Dari jumlah tersebut yang beragama Islam ialah sebanyak 63.565, yang beraga Katolik 104 orang Protestan 81 orang, Hindu1 orang, dan Budha 3 orang. Tingkat kepadatan penduduk sebesar 916 km persegi / orang. Berdasarkan pencarianya sebagian besar adalah bertani.
Berdasarkan data demografis desa-desa pesisir dilihat dari jumlah nelayan secara berturut-turut ialah desa Panyuran di sebelah Barat dengan jumlah nelayan relative sedikit kemudian wilayah Kradenan dengan jumlah nelayan relative banyak, desa Gesikharjo dengan jumlah relative sedikit dan desa Palang relative banyak dan desa Karangangung di sebelah timur dengan jumlah nelayan sangat banyak. Di desa Panyuran yang bekerja sebagai nelayan hanya sebanyak 1,9%, di desa Kradenan sebanyak 21,5%, di desa Gesikharjo sebanyak 18,11%. Di desa Palang sebesar 61,51%,dan di desa Karangagung sebanyak 69,64%. Di desa yang sangat sedikit sekali para nelayannya karena wilayah daerah tersebut berbatu karang menjorok ke wilayah laut sekitar satu kilometer, sedangkan daerah yang menjadi daerah terbesar dari para nelayannya di karenakan menjadi pusat perdagangan ikan yang menonjol di kecamatan Palang , sebagai Tempat Pelelangan Ikan (TPI) ada di desa ini.

3.2. Gambaran Umum Kasus
Pada gambaran umum kasus yang kami temukan di daerah kelahiran kami ada beberapa gambaran umum yan dapat dilihat antara lain: orientasi politik pembangunan pesisir, ketimpangan social dalam pembangunan pesisir, penetrasi kapitalis dalam pembangunan pesisir : kasus hubungan patron klien dikalngan nelayan, dan intervensi program pembangunan kelautan. Inilah beberapa gambaran umum kasus yang akan penulis angkat dalam penulisan makalah ini.

4. PEMBAHASAN/ ANALISIS MASALAH YANG DIKAJI
4.1. Definisi dan Pengertian Wilayah Pesisir
Perairan pesisir adalah daerah pertemuan darat dan laut,dengan batas darat dapat meliputi bagian daratan, baik kering ataupun terendam air yang masih mendapat pengaruh sifat-sifat laut, seperti angin laut, pasang surut, dan intrusi air laut. Kearah laut perairan pesisir mencakup bagian batas terluar dari daerah paparan benua yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat, seperti sedimentasi dan aliran air tawar.
Definisi wilayah seperti di atas memberikan suatu pengertian bahwa ekosistem perairan wilayah pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitatberagam,di darat maupun di laut serta saling berinteraksi. Selain mempunyai potensi besar wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang mudah terkena dampak kegiatan manusia. Umumnya kegiatan pembangunan secara langsung maupun tidak langsung berdampak merugikan terhadap ekosistem perairan pesisir.(Dahuri et al.,1996).
Menurt Dahuri (1996), hingga saat ini belum ada definisi wilayah pesisir yang baku. Namun demikian, terdapat kesepakatan umum di dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai, maka wilayah pesisir mempunyai dua macam batas yaitu batas yang sejajar dengan garis pantai dan batas yang tegak lurus garis pantai.
Untuk kepentingan pengelolaan , batas ke arah darat suatu wilayah pesisir ditetapkan dalam dua macam, yaitu wilayah perencanaan dan batas untuk wilayah pengaturan atau pengelolaan keseharian. Batas wilayah perencanaan sebaiknya meliputi seluruh daerah daratan dimana terdapat kegiatan manusia (pembangunan) yang dapat menimbulkan dampak secara nyata terhadap lingkungan dan sumberdaya di wilyah pesisird dan lautan, sehinga batas wilayah perencanaan lebih luas dari wilayah pengaturan.
Dalam day-to-day management, pemerintah atau pihak pengelola memiliki kewenangan penuh untuk mengeluarkan atau menolak izin kegiatan pembangunan. Sementara itu, bila wewenang semacam ini berada di luar batas wilayah pengaturan, maka akan menjadi tanggung jawab bersama antar instasi pengelola wilayah pesisir dalam regulation zone dengan instasi yang mengelola daerah hulu atau laut lepas.

4.2. Orientasi Politik Pembangunan Kelautan
Politik pembangunan nasional selama ini masih didominasi orientasi politik pembangunan yang bervisi Negara daratan, sementara Tanah Air kita mempunyai luas wilayah 5,8 juta kilometer persegi. Namun dalam prakteknya pembangunan lebih memfokuskan pada sector daratan seharusnya ada orientasi perubahan pembangunan kearah orientasi pembangunan Negara kepulauan yang bersinergi dan terintegritas dengan sumber daya daratan (Karim,2004).
Pembangunan kelautan merupakan kebijakan-kebijakan dala rangka mendayagunakan dan memfungsikan laut secara bijak yang didukung oleh pemanfaatan daratan untuk kepentingan public dalam rangka memaksimalkan kesejahteran masyarakat (Kusumastanto,2003), akan tetapi untuk menuju kearah sana pemerintahan kita belum dapat merealisasikan kebijak-kebijak yang mendukung berlangsungnya kesejahteraan masyarakat pesisir.
Untuk membangun dan menjadikan sector kelautan sebagai leading sector dalam pembangunan maka pendekatan kebijakan yang seharusnya digunakan haruslah mempertimbangkan keterkaitan antar sector kelautan dan non kelautan. Dalam konteks ini melibatkan peran antar institusi baik suasta maupun Negara, yang jadi pertanyaan besar dan menjadi masalah sampai saat ini adalah mampukah pemerintah mengelola potensi kelautan yang begitu besar untuk kepentingan nasional dengan hanya mengandalkan kementerian kelautan dan perikanan? Pertanyaan ini menjadi penting karena sejarah mencatat bahwa kontribusi sector kelautan untuk penerimaan Negara tidak signifikan (Kusumastanto,2003).
4.3. Ketimpangan Sosial dalam Pembangunan Pesisir : Kasus Pola Hubungan Patron Klien di Kalangan Nelayan Pantai Utara Jawa Timur
Salah satu dimensi pembangunan kelautan adalah pembangunan dalam sector perikanan yang ditujukan untuk meningkatkan kemakmuran komunitas nelayan. Sekurang-kurangnya ada dua kebijakan yang telah pemerintah lakukan untuk kesejahteraan nelayaan yaitu 1. Kebijakan motorisasi dan modernisasi alat tangkap dan 2. Dan kebijaka pengaturan regulation.
Sejak tahun 1974, berbagai program kredit telah di implementasikan pemerintah guna membantu nelayan kecil. Paatahun 1974 pemerintah telah memperkenalkan kredit KIK/KMKP yang diberikan untuk pemilik perahu dan KUD Mina. Sedangkan kebijakan motorisasi bertujuan untuk 1. Meningkatkan mobilitas penangkapan ikan. 2. Untuk meningkatkan status nelayan, yang semula sebagai buruh akan merangsang mereka untuk melakukan penangkapan sendiri sehingga diharapkan penghasilan mereka akan meningkat. Namun dalam prakteknya untuk tujuan kedua tersebut tudak tepat sasaran. Sebab paket kredit yang digulirkan oleh pemerintah lebih dinikmati oleh nelayan kaya yang mampu mngambil kredit motorisasi.
Kebijakan kedua yang berupa pengaturan dalam sector perikanan meliputi. 1. Pengaturan waktu, sumber daya laut hanya boleh dimanfaatkan pada bulan-bulan tertentu. 2. Pengaturan tempat, di batas tempat-tempat tertentu yang diperbolehkan untuk di eksploitasi sumber dayanya. 3. Larangan atau pembatasan armada dan alat tangkap tertentu. Pengaturan tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya, karena banyak terjadi berbagai pelanggaran. Kondiisi ini mencerminkan birokrasi penyelenggaraan pemerintah yang lemah.
Mengacu pada dua kasus tersebut, maka dalam pembangunan kelautan menunjukan belum tercapainya pemerntahan yang baik (good governance) dalam pengelolaan sumber dayanya dan masalah-masalah public secara efektif, efisien sebagai respon terhadap kebutuhn masyarakat melalui penegakkan rule of law yang mancangkup aspek-aspek: 1. Supermasi hokum. 2. Kepastian hokum 3. Hokum yang responsive 4. Penegakkan hokum yang konsisiten dan tidak diskriminatif 5. Keberadaan lembaga peradlan yang idependen (Santoso, 2001).
Berbagai kebijakan yang telah diterapkan oleh pemerintah dalam pembangunan kelautan belum dapat mengangkat kesejahtraan nelayan, sebab mereka masih terperangkap dalam ketinpangan social, antara pemilik modal dengan nelayan miskin. Ketimpangan social dan perangkap kemiskinan yang malanda nelayan disebabkan oleh factor yang kompleks. Factor tsebut bukan hanya berkaitan dengan dampak negative modernisasi perikanan, melainkan juga oleh fluktuasi musim ikan, keterbatasan sumber daya manusia modal serta akses dan jaringan perdagangan ikan yang eksploitatif terhadap nelayan sebagai produsen. Proses demikian terus berlangsung dalam kehidupan nelayan yang terjalin dalam hubungan patron klien antara nelayan kaya (juragan) dengan nelayan buruh (pandega).
Struktur nelayan di kawasan pantura seringkali dibedakan menjadi dua kelompok yaitu nelayan juragan dan nelayan pandega. Untuk kelompok juragan di bedakan lagi menjadi dua, yaitu: juragan darat (yang tidak ikut kelaut) dan juragan laut (pemilik kapal yang ikut kelaut). Seangkan pandega di bedakan menjadi: bangobal, jagan, juru mesin, juru masak dan penawu.
Jagan adalah pandega yang bertugas menebar jarring dan menariknya kembali. Bangobal adalah pandega yang bertugas memperbaiki jaring yang rusak. Juru mesin adalah pandega yang bertugas dan bertanggung jawab atas berjalan atau tidaknya perahu dilaut. Penawu adalah pandega yang bertugas membuang air yang merembas dalam kapal.
Proses hubungan kerja dikalangan nelayan Pantai Jawa pada walnya ditandai dengan pemberian suatu bentuan dari seseorang juragan (patron) kepada pandega (klien). Bentuk pemberiann tersebut biasa dikenal dengan istilah bendoko pokok, yaitu suatu pemberian dari juragan kepada pandega sebagai tanda adanya ikatan kerja antar mereka.
Bentuk balasan dalam pertukaran timbal balik anatar patron dengan kliennya bukan hanya dalam kehidupan ekonomi semata tetapi meluas keaspek kehidupan social lainnya. Bentuk pertukaran yang luas ini menimbulkan hubungan yang bersifat saling tergantung antara patron dan klien.
Ketergantungan pandega kepada juragan semakin kuat, sehingga dalam pemasaran ikanpun seringkali merenyerahkannya kepada juragan. Hubungan kerja diantara golongan penduduk dalam suatu lapisan masyarakat yang terlibat pada usaha biasa di ibaratakan suatu jaringan laba-laba yang saling barkaitan (Mudyarto, 1984).
Dengan demikian konsep ikatan patron klien dapat diartiakn sebagi hubungan pertukaran social antara dua oaring atau lebih yang berkembang kearah pertukaran tidak seimbang, dimana pihak yang satu mempunyai kedudukan lebih tinggi dari pihak lainnya. Kedudukan lebih tinggi ini disebabkan karena adanya kemampuan yang lebih besar dari pihak pertama kepada pihak kedua yang menyebabkan pihak kedua menjadi tergantung kepada pihak pertama.

4.3. Penetrasi Kapialis dalam Pembangunan Pesisir: Kasus Hubungan Patron Klien di Kalangan Nelayan
Penetrasi Kapitalisme di kalangan nelayan bukan merupakan proses yang sederhana dan mengambil bentuk yang berbeda-beda. Oleh karena itu, Moore dalam Roxbourogh (1990) menunjuk jika proses penetrasi kapitalisme merupakan komersialisasi perikanan,yang kemudian meruntuhkan keseimbangan tradisional yang telah tertata sebelumnya di kalangan nelayan, yaitu tatanan hak dan kewajiban antara juragan dan pandega. Selain Moore,Lennin dalam Roxborough (1990) menyebut bahwa terjadi perkembangan sumber agraria kelautan yang tidak seimbang sehingga diferensiasi ini lantas memperkaya beberapa nelayan dan memiskinkan yang lainya. Maka tak heran, akibat penetrasi kapitalisme hingga ke plosok pedesaan ini lantas menimbulkan kerancuan dan ketidakadilan yang pada giliranya melahirkan ketergantungan.
Penelitian Karjadi M. dan Imam Farisi di desa bandaran Pamekasan Madura, memotret bahwa pola hubungan patron klien yang terjalin antara pandega dan juragan dan tengkulak ikan bukan hanya dalam kerangka hubungan ekonomi semata-mata, tetapi lebih bersipat kolegailisme dan kekeluargaan, sekalipun terdapat klasifikasi diantara mereka sesuai dengan spesifikasi masing-masing. Lebih jauh Karjadi melihat bahwa hubungan patron klien yang terjalin di desa Bandaran, ditandai adanya fenomena penetrasi kapitalis cendrung melahirkan ketergantungan ekonomi pada nelayan. Kecenderungan ini pada dasarnya bukanlah karena alasan-alasan ekonomi semata tetapi nelayan lebih untuk menikmati hubungan kerja yang bersipat informal dan tidak diwarnai birokrasi yang berbelit-belit. Fenomena ini menunjukan betapa faktor-faktor sosial dan budaya bercampur baur dengan faktor-faktor ekonomi.
Fenomena ini mengindikasikan betapa telah tercipta ketergantungan yang luar biasa di kalangan nelayan, yaitu nelayan buruh kepada juragan. Dei sinilah posisi persepktif dependensi untuk meneropong bagaimana mewujudnya kapitalisme di komunitas nelayan. Tak hanya sampai di situ, bahkan semakin menguatnya akar kapitalisme di komunitas nelayan, berdampak pada perubahan struktur sosial yang telah ada sebelumnya, yaitu munculnya nelayan juragan semakin kaya dan disisi lain nelayan buruh semakin terpingirkan.

4.4. Intervensi Pragram Pada Komunitas Nelayan dalam Pembangunan Kelautan
Program intervensi yang dilakukan oleh pemerimtah dapat digolongkan menjadi dua yaitu: intervensi langsung maupun intervensi tidak langsung (Wahyono,2001). Intervensi tidak langsung adalah peraturan-peraturan pemerintah yang secara tidak langsung ikut membantu kesejahteraan masyarakat. Sedangkan intervensi langsung adalah bantuan langsung yang diberikan kepada komunitas nelayan.
Peluang pembangunan kelautan Indonesia yang mampu mengakses semua kepentingan masyarakat merupakan tantangan yang harus difikirkan oleh semua pihak. Dalam konteks ini diperlukan adanya pengolahan lahan pesisir secara terpadu ,yaitu suatu proses yang menyatukan pemerintah dan masyarakata, kepentingan sektor publik, perlindungan dan pembangunan ekosistem serta sumber daya pesisir (Budiharsono,2001). Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan paradigma pembangunan baru yang biasa disebut dengan paradigma inklusi sosial, yaitu paradigma yang melibatkan masyarakat dalam proses pembangunan, dari mulai perencanaan sampai evaluasi dan pemantauan, masyarakat sebagai main stakeholder, yang memperhatikan hak-hak khalayak dan hak publik lainya.
Paradigma inklusi sosial ini merupakan lawan dari paradigma eksklusi sosial yang selam ini diterapkan oleh negar-negara berkembang, yang menyebabkan timbulnya masyarakat marginal yang miskin dan mempunyai posisi tawar yang lemah. Selain perubahan paradigma tersebut juga harus ada perubahan fungsi pemerintah dari pola sentralistik menjadi desentralistik,dari top down menjadi bottom up.


5. KESIMPULAN
Politik pembangunan nasional selama ini masih didominasi orientasi politik pembangunan yang bervisi Negara daratan, sementara tanah air kita mempunyai luas lautan 5,8 juta km persegi. Namun dalam prakteknya pembangunan lebih memfokuskan pada sector daratan, seharusnya ada perubahan orientasi pembangunan kea rah orientasi pembangunan Negara kepulauan yang bersinergi dan terintegrasi dengan sumber daya daratan. Pembangunan kelautan merupakan kebijakan-kebijakan dalam rangka mendayagunakan dan memfungsikan laut secara bijak yang didukung oleh pemanfaatan daratan utuk kepentingan public dalam rangka memaksimalkan kesejahteraan masyarakat. Focus pembangunan bidang kelautan cukup luas, meliputi bidang-bidang : sector perikanan, pariwisata bahari, pertambangan laut, industry maritime, perhubungan laut, bangunan kelautan, dan jasa kelautan.
Untuk menjadikan sector kelautan sebagai leading sector dalam pembangunan, maka pendekatan kebijakan yang dilakukan harus mempertimbangkan keterkaitan antara sector dalam bidang kelautan dan non kelautan. Dalam konteks ini perencanaan pembangunan melibatkan peran antar institusi pemerintahan pusat dan daerah dan jaminan hokum yang pasti. Masalah yang sampai saat ini menjadi pertanyaan besar adalah mampukah pemerintah mengelola potensi kelautan yang begitu besar untuk kepentingan nasional dengan hanya mengandalkan sebuah kementerian kelautan dan perikanan tanpa keterkaitan dengan kordinasi dengan institusi Negara lainya? Pertanyaan ini menjadi penting karena sejarah mencatat bahwa kontribusi sector kelautan untuk penerimaan Negara tidak signifikan(Kusumastanto,2003).
Pertanyaan tersebutpatut dijawab sekarang ketika melihat sector kelautan dalam persepktif ekonomi tidak sebatas perikanan saja akan tetapi memandang sector kelautan secara ekonomi politik sebagai kekuatan ekonomi yang mampu mewujudkan kesejahteraan bangsa. Sehingga kebijakan pembangunan kelautan tidak hanya didasarkan kepada penigkatan out put semata tanpa memberikan kontribusi yang maksimal bagi kemakmuran bangsa dan mampu menjawab tuntutan pembangunan berkelanjutan (suistainable development)


















DAFTAR PUSTAKA
Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Jakarta, Gramedia 2000
Syamsir Salam dan Amir Fadilah, Sosiologi Pembangunan : Pengantar Studi Pembangunan Lintas Sektoral, Jakarta, Lembaga Penelitian UIN 2009
Koentjoriningrat, Pengantar Antropologi, Jakarta,2008
Nur Syam, Islam Pesisir, Jogjakarta, LKIS,2004
Wati Nilamsari, Buku Ajar Sosiologi Pembangunan, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar