Minggu, 20 Februari 2011

Perubahan Sosial di Jogjakarta

Oleh:
Bagus Adimus & Mohamad Suandi

A. Latar Belakang Masalah
Banyak orang telah menulis tentang kehidupan politik dan ekonomi Indonesia sebelum perang. Banyak peneliti asing telah menunjukkan pengertian yang dalam akan masalah-masalah yang ada serta pandangan-pandangannya. Semua itu dikarenakan usaha-usaha mereka yang serius untuk sampai pada inti masalah-masalah di Indonesia. Namun, karya ilmiah yang dihasilkan oleh banyak peneliti asing terbukti sangat bermanfaat bagi kita untuk semakin memahami masalah-masalah social, di samping masalah-masalah lain di Indonesia.
Buku ini membahas mengenai perubahan-perubahan sosial di Yogyakarta. Perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam waktu kurang lebih 20 tahun itu amat banyak dan meliputi hampir semua bidang kehidupan masyarakat. Seperti kekuasaan Belanda diganti kekuasaan Jepang dan kemudian pemerintahan nasional.
Diantara perubahan-perubahan sosial yang terjadi sebagian besar dikarenakan bertambahnya teknologi baru yang digunakan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat. Teknologi baru itu seperti terlihat dalam pabrik-pabrik baru yang mempunyai modal yang besar dan penggunaan pesawat terbang untuk perhubungan cepat lewat udara. Teknologi baru yang masuk di daerah pedesaan juga berpengaruh pada masyarakatnya, misalnya penggunaan kendaraan bermotor, “listrik masuk desa” yang membuka kemungkinan masyarakatnya menggunakan lampu listrik dan melihat televisi serta mendengarkan radio. Akhirnya teknologi elektronik yang mulai berkembang di Indonesia akan membawa perubahan-perubahan besar dalam masyarakat kita.
Ada beberapa alasan mengapa Yogyakarta dipilih untuk studi perubahan sosial. Pertama, karena Selo Soemardjan tinggal di Yogyakarta. Tentu saja ini sangat membantu dalam membandingkan berbagai kondisi sosial. Karena Selo Soemardjan sudah sangat mengenal daerah Yogyakarta. Kedua, Yogyakarta menjadi Ibu kota Republik Indonesia dari 1946-1950. dengan demikian, ia menjadi pusat pemerintahan yang mempelopori perubahan-perubahan politik dan sosial hingga menjalar ke seluruh Indonesia. Ketiga, Yogyakarta mempunyai pengalaman yang unik dalam proses perkembangan pemerintah. Mulai dari tipe pemerintahan yang paling feodal dan tradisional di Indonesia. Dalam hal ini, loyalitas rakyat kepada sultan merupakan pelopor besar perubahan sosial itu sendiri.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka Selo Soemardjan menulis buku dengan judul “Perubahan Sosial di Yogyakarta”.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka terdapat identifikasi masalah sebagai berikut:
1. Bertambahnya teknologi baru yang digunakan dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat.
2. Norma sosial yang lama sudah tidak berpengaruh terhadap masyarakat, sedangkan norma yang baru sebagai penggantinya belum terbentuk.
3. Orang sering tidak tahu apa yang dianggap baik atau benar dan apa yang harus dianggap buruk atau salah saat itu.

C. Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah yang diuraikan di atas penulis membatasi perubahan social pada pembangunan ekonomi dan pendidikan.

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian ini adalah:
1. Bagaimana perubahan social dalam pembangunan ekonomi di Yogyakarta?
2. Bagaimana perubahan social dalam pendidikan di Yogyakarta?

E. Tujuan Penulisan
Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka kegiatan penulisan ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui perubahan social dalam pembangunan ekonomi di Yogyakarta.
2. Mengetahui perubahan social dalam pendidikan di Yogyakarta.

F. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat penulisan ini adalah:
1. Dapat mengetahui gambaran mengenai perubahan social dalam pembangunan ekonomi di Yogyakarta.
2. Dapat mengetahui perubahan social dalam pendidikan di Yogyakarta.

BAB II
KERANGKA TEORITIK


A. Perkembangan Evolusioner
1. Auguste Comte
Comte membagi sosiologi menjadi sosiologi statis dan sosiologi dinamis. Aspek statis sosiologis serupa dengan apa yang kini kita sebut struktur, sedangkan aspek dinamisnya mengacu kepada perubahan. Sosiologi statis didasarkan atas asumsi filosofis yang menyatakan bahwa masyarakat adalah organism yang disatukan oleh consensus.
Comte memandang perubahan menurut kemajuan. Begitu pula ia melihat kemajuan terjadi di setiap segi tata masyarakat, termasuk segi fisik, etika, pikiran, politik. Kemajuan itu berkaitan erat dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Sosiologi sebagai ilmu yang terakhir dan terampil, akan memungkinkan manusia mencapai tata masyarakat yang ideal.
Singkatnya Comte memberikan sejumlah sumbangan pada sosiologi umumnya dan bagi studi perubahan social khususnya. Yaitu pengakuan bahwa perubahan social itu normal.

2. Herbert Spencer
Dalam bukunya yang berjudul The Principles of Sociology, Herbert Spencer mengatakan bahw objek sosiologi yang pokok adalah keluarga, politik agama, dan industry. Dia menekankan bahwa sosiologi harus menyoroti hubungan timbale balik antara unsur-unsur masyarakat seperti pengaruh norma-norma masyarakat seperti pengaruh norma-norma atas kehidupan keluarga antara kehidupan politik dengan lembaga keagamaan. Unsur-unsur masyarkat mempunyai hubungan yang tetap dan harmonis serta merupakan suatu integrasi.
3. Emile Durkheim
Evolusi social akan ditandai dengan peningkatan solidaritas organic yang menggusur solidaritas mekanik, karena adanya pembagian kerja yang mengiringi perkembangan social. Solidaritas mekanik adalah bentuk awal (primitive) dari organisasi social. Dalam solidaritas mekanik, terdapat kecenderungan dan ide bersama (kolektif) yang lebih banyak dari pada perbedaan individual. Solidaritas organic lebih berakar pada perbedaan ketimbang kesamaan. Kerumitan masyarakat yang semakin meningkat menuntut solidaritas yang didasarkan pada diferensiasi; bermacam-macam fungsi dan pembagian kerja menjadi inti solidaritas organic.
Ringkasnya Durkheim menekankan pentingnya solidaritas. Durkheim sangat menekankan arti penting demografi dalam perubahan social mekanisme utama dari perubahan social adalah peningkatan kepadatan penduduk.
Tiga pendapat dapat dibandingkan secara teoritis. Comte, Spencer, dan Durkheim mengenai arah perubahan social maka kita akan menemukan suatu kontinum. Comte melihat peningkatan perkembangan dan kemajuan. Spencer melihat kecenderungan kea rah kemajuan tetapi juga melihat kemungkinan ke arah kemunduran. Durkheim melukiskan masa depan umat manusia dalam pengertian agak suram.

B. Perkembangan Dialektika
Dialektika di sini berasal dari dialog komunikasi sehari-sehari. Ada pendapat dilontarkan ke hadapan public. Kemudian muncul tantangan terhadap pendapat tersebut. Kedua posisi yang saling bertentangan ini didamaikan dengan sebuah pedapat yang lebih lengkap. Dari fenomen dialog ini dapat dilihat tiga tahap yakni tesis, antithesis, dan sintesis. Tesis di sini dimaksudkan sebagai pendapat awal tersebut. Antithesis yakni lawan atau oposisinya. Sedangkan sintesis merupakan pendamaian dari keduanya baik tesis dan antithesis. Dalam sintesis ini terjadi peniadaan dan pembatalan baik itu tesis dan antithesis. Keduanya menjadi tidak berlaku lagi. Dapat dikatakan pula, kedua hal tersebut disimpan diangkat ke taraf yang lebih tinggi. Tentunya kebenaran baik dalam tesis dan antithesis masih dipertahankan. Dalam kacamata Hegel, proses ini disebut sebagai aufgehebon. Seperti ditunjukkan Spencer, konflik dapat digolongkan ke dalam perkembangan evolusi. Menurut pandangan teoritis perkembangan evolusi, konflik buka merupakan proses social utama, paling-paling hanya menempati tempat tambahan dalam proses evolusi. Tetapi menurut penganut teori perkembangan yang lain, konflik adalah fakta sentral perubahan social.
Marx dan Engels lahir di Prusia. Marx adalah anak seorang ahli hukum Yahudi (kemudian bersama segenap keluarganya masuk agama Kristen). Engels adalah anak seorang Yahudi pengusaha pabrik yang kaya. Keduanya menjalin persahabatan di Paris, dan kemudian menulis baik secara bersama maupun secara sendiri-sendiri menciptakan karya-karya yang menjadi landasan Marxisme.
Dua diantara sandaran pemikiran Marxis adalah dialektika dan materialism. Dialektika menegaskan bhawa kontradiksi adalah inti segala sesuatu, baik di dalam alam maupun di dalam kehidupan manusia, kontradiksi adalah fakta sentral segala sesuatu yang ada. Karena itu, untuk menemukan kunci perubahan, kita harus melihat kepada dialektika yang tak dapat melepaskan diri dari perjuangan sebaliknya.
Meskipun dialektika memiliki sejarah yang panjang, namun ide Hedel sangat mmepengaruhi pikiran Marx. Hegel sendiri jarang menggunakan ungkapan yang biasanya diartikan dengan namanya dalam melukiskan proses dialektika yang terdiri dari tesis, antithesis, dan sintesis. Hegel sebenarnya menyebut pemakaian ketiga istilah itu sebagai “susunan yang tak bernyawa”. Namun ia menegaskan ide itu sebagai proses, kontradiksi, dan perkembangan historis, dan ide itu diterima oleh Marx. Tetapi engels menyatakan bahwa dialektika tak dapat digunakan sepenuhnya menurut pengertian Hegel karena Hegel katanya menciptakan suatu “penjugkirbalikan ideology” di luarnya. Maksudnya, Hegel adalah seorang idealis yang membayangkan alam nyata sebagai cerminan “konsep absolute”, sdangkan Marx dan Engels menciptakan konsep-konsep sebagai cerminan dari perkembangan kehidupan materiil.
Makna dialektika akan bertambah jelas bila kita meneliti hukum-hukum dasar tertentu yang diambil dari Hegel yang dibahas lebih rinci oleh Engels dalam karyanya Anti-Duhring. Pertama segala sesuatu yang ada, ditandai oleh kesatuan dan konflik dengan lawannya.
Dalam kehidupan social, kontradiksi mungkin terlihat dalam hal seperti pertentangan antara kekuatan-kekuatan dan hubungan-hubungan produksi dalam masyarakat kapitalis. Kontradiksi seperti itu adalah suatu kesatuan konflik antara kekuatan yang berlawanan, karena keduanya tanpa terrelakan dipersatukan di dalam masyarakat yang sama, tetapi saling konflik satu sama lain. Karena itu, kontradiksi menjadi mekanisme yang menggerkan perubahan. Karena kontradiksi tidak dapat dipertahankan untuk jangka waktu yang tak terbatas.
Perubahan dari kuantitas menjadi perubahan kualitas dapat pula dilukiskan terhadap tingkat alamiah dan tingkat social. Hukum alam menegaskan secara sederhana bahwa pada satu titik tertentu. Perubahan kuantitatif menjadi kualitatif. Air perubahan menjadi uap pada temperature 1000C. perubahan kuantitatif secara terus menerus akan menghasilka keadaan kualitatif baru pada kehidupan social.
Bagitulah dari Marx dan Engels kita peroleh gambaran proses social sebagai proses dialektika-kontradiksi menjadi sifat bawaan , menjadi proses social, dan akan menjadi mekanisme pendorong perubahan. Teori perubahan social Marxis bukan sekedar petualangan pikiran, teorinya merupakan sebuah petunjuk untuk bertidak, sebagai alat yang dapat digunakan manusia untuk meraih kendali proses historis untuk memperoleh kebebasan manusia.

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Hasil
1. Perubahan Sosial dalam Pembangunan Ekonomi di Yogyakarta
Dalam perspektif sejarah, kedudukan kaum tani di Yogyakarta dalam hubungannya dengan pemerintahan dan masyarakat bisa disimpulkan sebagai berikut. Kaum tani hanya mempunyai kewajiban dan tak mempunyai hak, yakni pada masa sebelum perubahan hukum tanah di tahun 1918. Antara 1918-1951, mereka mempunyai kewajiban dan hak. Namun pada 1951, sejak dihapuskannya pajak tanah, mereka hanya mempunyai hak dan tidak mempunyai kewajiban.
Masalah penanaman modal di Indonesia telah mendapat perhatian besar di kalangan usahawan dan sarjana Barat, baik sesudah mauun sebelum perang. Banyak orang berminat menjadi kecewa. Mereka hanya berpikir dari segi ekonom saja. Mereka berharap agar Indonesia sebagai suatu Negara yang sedang berkembang pasti akan senang menerima penanaman dan bantuan modal asing. Oleh karena itu, mereka tak bisa memahami sikap dingin orang Indonesia terhadap modal asing.
Para pemimpin politik Indonesia memiliki sikap negative terhadap modal asing. Hal ini bisa dipahami lebih jelas dari cara sebagian penduduk di Yogyakarta memandang perusahaan asing. Pernyataan walikota Yogyakarta adalah suatu pengkuan yang jujur bahwa sentiment-sentimen yang berkobar saat itu tidak menguntungkan modalasing dan para pengusaha asing dan juga modal swasta Indonesia tidaklah didasarkan pada prinsip-prinsip ekonomi.
Banyak proyek kecil lain yang dilasanakan dengan gugur gunung (kerja wajib). Cara untuk meningkatkan produksi pertanian ini dilaksanakan dengan modal sedikit karena banyaknya tenaga kerja yang tidak dibayar. Oleh karena itu, proyek ini hanya memakan modal yang sangat minim. Kerja wajib juga dikenakan pada pekerjaan lainnya yang jauh melampaui perbatasan Yogyakarta. Dalam teori, system kumiai dan kerja wajib akan mendorong perkembangan ekonomi. Hal ini disebabkan para anggotanya merasa bisa mempertahankan kegiatan-kegiatan ekonominya dalam lingkungan kumiai.
Singkatnya, usaha Jepang untuk mengadakan pembangunan ekonomi serta meningkatkan produksi menimbulkan akibat sebaliknya, yakni jumlah produksi merosot.

2. Perubahan Social dalam Pendidikan di Yogyakarta
Sebelum Belanda datang ke Indonesia, orang Jawa telah memiliki lembaga-lembaga pendidikan sendiri. Jadi, ada suatu bentuk lembaga pendidikan khas berasal dari India yang sebagian dipengaruhi oleh orang-orang islam. Kesimpulannya bahwa pesantren lebih tua daripada islam yang bersumber dari tradisi penghormatan santri kepada guru, tata hubungannya antara keduanya yang tidak didasarkan kepada uang, sifat pengajaran yang murni agama dan pemberian tanah oleh Negara kepada guru dan pendeta.
Satu pesantren di Desa Krapyak di pinggiran Kota Yogyakarta, hampir semua pesantren di Daerah Istimewa Yogyakarta tetap mempertahankan organisasi dan kegiatannya secara tradisional.

B. Pembahasan
1. Perubahan Sosial dalam Pembangunan Ekonomi di Yogyakarta.
Perspektif ini melihat bahwa bentuk pembagian-pembagian kelas-kelas ekonomi merupakan dasar anatomi suatu masyarakat.
Menurut Marx terdapat 3 tema menarik ketika kita hendak mempelajari perubahan social, yaitu:
a) Perubahan social menekankan pada kondisi materialis yang berpusat pada perubahan cara atau teknik produksi material sebagai sumber perubahan social budaya.
b) Perubahan social utama adalah kondisi material dan cara produksi dan hubungan social serta norma-norma kepemilikan.
c) Manusia menciptakan sejarah materialnya sendiri, selama ini mereka berjuang mengahadapi lingkungan materialnya dan terlibat dalam hubungan-hubungan social yang terbatas dalam proses pembentukannya. Kemampuan manusia untuk membentuk sejarahnya sendiri dibatasi oleh keadaan lingkungan material dan social yang telah ada.
Seiring dengan dihapuskannya “system tanah paksa”. Secara bertahap di daerah-daerah Jawa di luar Yogyakarta pada penghujung abad ini, pemerintah Yogyakarta memutuskan untuk lebih memperhatikan kesejahteraan penduduk pribumi di pedesaan. Pada 1912, program land reform telah diterima atas dasar kaum tani tak boleh hanya dibebani dengan berbagai kewajiban, tetapi mereka juga harus diberi hak-hak. Gagasan ini mulai diwujudkan pada 1918, yakni ketika setiap petani diberi hak-hak perorangan yang bisa diwarisi untuk menggunakan tanah garapannya disaat perubahan itu.
Di bidang produksi pertanian, perbaikan-perbaikan dilakukan tetapi tidak memberikan hasil-hasil ekonomis yang nyata bagi para petani. Hal ini disebabkan para petani selalu membutuhkan akan uang. Pemerintah sudah berusaha untuk memerangi praktik penjualan tanaman seperti ini, tapi tidak diperoleh hasil yang berarti. Dengan demikian mereka mudah menjadi mangsa para pelepas uang yang membeli tunai padi yang masih hijau. Di Yogyakarta, luas tanah miliki semakin berkurang. Maka, langkah-langkah yang palig intensif dan ekstensif dibutuhkan jika ingin dicapai perkembangan ekonomi yang pesat.
Para petani pedesaan memiliki sikap kesejahteraan materinya sendiri terhadap kekuatan-kekuatan pemerintahan, social dan ekonomi yang menimpa diri dan keluarganya serta konsekuensi-konsekuensinya.
Meskipun gambaran mengenai pertanian untuk penyambung hidup di jawa benar untuk kondisi sebelum perang, namun kalau hal itu diterapkan pada kondisi sesudah revolusi di daerah-daerah pedesaan Yogyakarta dibutuhkan banyak perubahan. Saat ini semakin banyak uang yang beredar di daerah-daerah pedesaan Yogyakarta, antara lain karena inflasi. Di samping itu, para petani kini lebih kaya dibandingkan pada zaman Belanda, yakni ketika 17 pabrik gula dan perkebunan-perkebunan tembakau dikatakan banyak memajukan kesejahteraan ekonomi desa-desa.
Pabrik gula bukan satu-satunya perusahaan yang dimiliki dan dikelola oleh orang asing di Yogyakarta. Selain pabrik gula, terdapat juga perkebunan tembakau, bengkel teknik di kota untuk melayani pabrik-pabrik gula, pabrik rokok dan dau percetakan. Akan tetapi, dari semua perusahaan asing ini, ketujuhbelas pabrik gula paling besar adalah yang mempunyai hubungan paling intensif dan ekstensif dengan pemerintah dan penduduk di daerah-daerah pedesaaan.
Industry gula di Yogyakarta harus mengurangi kegiatan ekonominya selama masa depresi pada tahun 30-an, yaitu dengan mengembalikan sebagian dari tanah sewaan kepada pemerintah Yogyakarta. Mereka juga harus menanam tanaman pangan termasuk padi yang “mewah dan tidak ekonomis” di atas tanah-tanah yang tersisa. Usaha Jepang untuk mengadakan pembangunan ekonomi serta meningkatkan produksi menimbulkan akibat sebaliknya, yakni jumlah produksi merosot.
Organisasi belum berjalan lancar karena para teknisi Jerman Timur gagal untuk membuat kosntruksi mesin yang memadai. Akibatnya, menderita kerugian. Pengeluaran-pengeluaran untuk upah, memelihara bangunan-bangunan pabrik dan administrasi perusahaan tidak mungkin dihindari. Padahal keuntungan tak mungkin diperoleh karena keadaan ini. Organisasi ini menyimpang dari system gotong royong tradisional yang hanya melibatkan kepala keluarga. Maka, tidak menjadi soal apakah mereka kepala keluarga atau bukan. Dengan demikian, individu dilepaskan dari keluarganya yang selalu dipandang sebagai unit ekonomi dan social terkecil dalam masyarakat.
Singkatnya, agar pembangunan masyarakat sungguh-sungguh efektif, pemerintah tidak cukup hanya mendorong rakyat untuk melakukan pekerjaan umum dengan bantuan teknis dan keuangan. Pemerintah juga harus menangani masalah ekonomi dari segi social dan pendidikan. Pendekatan apapun yang diterapkan oleh pemerintah, kenyataannya ialah bahwa masyarakat pedesaan di Yogyakarta telah menginjakkan kakinya di atas jalur kemajuan social dan ekonomi. Mereka pasti akan terus bergerak maju tanpa mempedulikan hambatan-hambatan yang datang dari luar.

2. Perubahan Social dalam Pendidikan di Yogyakarta
Perubahan-perubahan politik dan pemerintahan di Yogyakarta yang dilukiskan dalam studi ini diprakarsai oleh sultan Yogyakarta. System pendidikan Hindia Belanda, Belanda membawa ke Indonesia suatu jenis pendidikan baru. Dalam banyak hal, pendidikan ini berbeda dari lembaga-lembaga pendidikan pribumi. Perbedaan-perbedaan yang pokok adalah:
a) Pendidikan yang biayai oleh Belanda di sekolah-sekolah umum yang netral terhadap agama.
b) Pendidikan tidak terlalu memikirkan bagaimana hidup secara harmonis dalam dunia, tetapi menekankan tentang bagaimana memperoleh penghidupan.
c) Pendidikan diselenggarakan berdasarkan perbedaan kelompok etnis di dalam masyarakat.
d) Pendidikan diselenggarakan untuk mempertahankan perbedaan kelas dalam masyarakat Indonesia, terutama di kalangan Jawa.
e) Pendidikan sebagian besar diarahkan pada pembentukan kelompok elite masyarakat. Oleh sebab itu, pendidikan bisa dipergunakan untuk mempertahankan supremasi politik dan ekonomi Belanda di negeri jajahannya. Dengan demikian, pendidikan benar-benar mencerminkan kebijakan pemerintah Hindia Belanda.
Selama penjajahan Belanda, pendidikan yang diberikan pada sekolah-sekolah umum sangat terkait pada kebudayaan Belanda di negeri Belanda. Di Yogyakarta, perubahan-perubahan politik dan social yang mendasar dimulai pada masa pendudukan Jepang. Perubahan ini berlanjut sesudah pecahnya revolusi nasional yang membantu dalam mengubah kebutuhan akan pendidikan menjadi tuntutan umum (rakyat).
Pertumbuhan pesat sekolah dasar di Yogyakarta tak akan terjadi, apabila tidak ada dukungan sukarela yang nyata dan aktif dari kalangan masyarakat sendiri, terutama di daerah-daerah pedesaan. Walaupun pemerintah berhasil menyediakan lebih banyak guru dalam waktu yang relative singkat, tetapi pemerintah kekurangan dana untuk membangun gedung-gedung sekolah baru dan menyediakan perabot serta peralatan dengan yang lainnya.
Sejak kemerdekaan, perkembangan pendidikan di Yogyakarta melampaui tingkat sekolah menengah dan mencapai tingkat universitas. Namun, pembentukan universitas ini tidak diprakarsai oleh masyarakat, tetapi oleh sejumlah tokoh cendekiawan pada tingkat nasional, termasuk sultan Yogyakarta.
Kampanye pendidikan tersebar dengan cepat ke seluruh daerah pedesaan Yogyakarta. Maka, tak ada cara lain untuk mencegah anak-anak ke sekolah. Bersekolah sudah melembaga dalam masyarakat pedesaan. Orang tua dipersalahkan oleh rekan-rekannya kalau tidak menyekolahkan anak-anaknya yang telah berumur enam tahun. Mereka akan dituduh melalaikan pendidikan anak-anaknya.

BAB IV
PENUTUP


A. Kesimpulan
• Perubahan social adalah perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga masyarakat yang mempengaruhi system sosialnya, termasuk nilai-nilai social, sikap dan pola tingkah laku antar kelompok dalam masyarakat.
• Perubahan social dalam pembangunan ekonomi di yogyakrarta, usaha Jepang untuk mengadakan pembangunan ekonomi serta meningkatkan produksi menimbulkan akibat sebaliknya, yakni jumlah produksi merosot.
• Perubahan social dalam pendidikan di Yogyakarta, pesantren lebih tua daripada islam yang bersumber dari tradisi penghormatan santri kepada guru, tata hubungannya antara keduanya yang tidak didasarkan kepada uang, sifat pengajaran yang murni agama dan pemberian tanah oleh Negara kepada guru dan pendeta.

DAFTAR PUSTAKA


http:// oktagerard.blogspot.com/2008/11/system-dialektika-hegel.html

Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pres. 2009. Cet.IV.

Lauer, Robert H. Perspektif tentang Perubahan Sosial. Jakarta: Rineka Cipta. 2001.
Soemardjan, Selo. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Komunitas Bambu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar