Minggu, 20 Februari 2011

NU dan Muhammadiyah

Organisasi-Organisasi di Indonesia:
Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah
_______________________
Mohamad Suandi





Abstrak

Makalah ini mencoba memaparkan dua organisasi besar yang lahir diawal abad ke-dua puluhan yang dijadikan sebagai alat perjuangan rakyat Indonesia untuk meraih kemerdekaan, dua organisasi ini banyak mewarnai perjuangaan Indonesia.
Dalam pandangan penulis, sejarah gerakan-gerakan dakwah tersebut lahir dalam visi dan misi yang hampir memiliki ke samaan yaitu menolak kebijakan pemerintah Saudi Arabia yang berpaham wahabi yang membatasi kebebasan bermazhab lewat pambentukan komite hizaz dan memilik komitmen dalam dunia pendidikan baik dikalangan tadisional ataupun pada kalangan modern.

Kata Kunci

Dakwah, organisasi, Ulama, kebangkitan, Muhamadiyah, Mazhab, tradisional, dll

Gerakan-gerakan Islam di Indonesia, sejak awal masuknya Islam di negeri ini yang mengalami akselerasi pada abad ke-12 dan abad ke-16 sampai dengan penghujung abad ke-20, pada hakikatnya merupakan gerakan dakwah Islam . Pada periode awal perkembangan Islam, gerakan dakwah Islam dilakukan oleh ulama secara individual. Ketika masyarakat Muslim telah terbentuk, lembaga-lembaga seperti masjid, pondok pesantren, dan kelompok-kelompok tarekat kemudian memainkan peran penting dalam gerakan dakwah.
Pada awal abad ke-20, sejalan dengan semakin tingginya intensitas hubungan antara Islam dan modernitas, organisasi-organisasi sosial- keagamaan Islam bermunculan di Indonesia. Di bawah semangat modernitas, dakwah Islam menjadi perhatian utama organisasi sosial keagamaan Islam yang bermunculan sepanjang periode tersebut. Sarekat Islam (1911), Muhammadiyah (1912), al-Irsyad (1914), Persis (1923), Nahdlatul Ulama (1926) dan organisasi sosial-keagamaan Islam lain merupakan kelompok awal organisasi Muslim yang memberikan perhatian kepada gerakan dakwah . Gerakan-gerakan dakwah tersebut melakukan kegiatan dakwah dalam berbagai bentuk, seperti kegiatan-kegiatan sosial, ceramah, debat, maupun melalui penerbitan.
Setelah kemerdekaan, gerakan dakwah Islam masih didominasi organisasi-organisasi sosial Islam besar tersebut. Kehadiran Masyumi pada awal kemerdekaan, yang kemudian menjadi representasi Islam di panggung politik Indonesia periode orde lama, bukan hanya semakin memperkuat gerakan dakwah, lebih dari itu juga menambah khazanah peristilahan dakwah di Indonesia, yaitu dakwah melalui politik. Munculnya istilah dakwah dan politik alokatif beberapa dekade kemudian, yang mengandung arti mendorong terimpelentasikanya nilai-nilai Islam dalam wilayah politik , jelas tidak dapat dipisahka dari tradisi politik yang dibangun kaum muslim sejak Masyumi, dan ini yang mempengaruhi awal berdirinya dua organisasi besar di Indonesia yang akan kita bahas di bawah ini.


NAHDLATUL ULAMA


Bagi kalangan orang-orang Nahdlatul Ulama untuk selanjutnya disingkat NU- bedirinya organisasi keagamaan ini, tidak jarang, dipandang sebagai pelembagaan tradisi, keagamaan yang sudah mengakar sebelumhya. Para Ulama yang sudah memiliki kesamaan wawasan keagamaan pada 31 Januari 1926 sepakat membentuk organisasi, bernama Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan Ulama. Meskipun demikian kelahiran NU tidak dapat dilepaskan dari konteks waktu yang mengitarinya. Perkembangan dunia Islam dan situasi kolonialisme Belanda tidak kecil andilnya dalam membidani kelahiranya.
Pada 1869 Terusan Suez dibuka. Peristiwa ini membawa perubahan yang tidak kecil di Timur Tengah dan daerah-daerah sekitarnya. Arus pelayaran yang tadinya sepi menjadi ramai. Pelayaran dari Eropa menuju Asia dipersingkat separuh perjalanan.
Akibat yang ditimbulkan bukan melulu di bidang pelayaran dan perdagangan saja, melainkan juga pada bidang-bidang lain, termasuk bidang keagamaan.
Sejak dibukanya Terusan Suez ribuan umat Islam Indonesia memiliki kesempatan yang lebih besar untuk menunaikan ibadah haji—rukun Islam yang ke lima—ke tanah suci. Sampai menjelang akhir abad ke-19 setiap tahun terdapat rata-rata 2000 orang naik haji. Diantaranya , malahan terdapat lonjakan-lonjakan. Pada 1875, ada lebih dari 4000 orang; pada 1895 ada lebih dari 8000; pada 1900 turun menjadi 7.421; dan bersamaan dengan tahun berdirinya NU terdapat 52.412 jemaah yang naik haji.
Sepintas proses ibadah haji seperti ritual ibadah biasa. Di baliknya, ternyata memiliki fungsi-fungsi yang lain. Studi Martin van Bruinessen memperlihatkan, bahwa pada masa lalu bagi para jamaah haji Indonesia mempunyai fungsi legitimasi politik, ilmu, dan fungsi sosiologi. Lewat perjalanan haji, juga terdapat proses pemahaman keagamaan yang mendalam. Malahan ada yang menetap di sana, seperti Syaikh Ahmad Khatib, Syaih Nawawi, dan beberapa orang lainya. Ketika mereka kembali ke tanah air, tidak sedikit yang membawa ajaran ortodoks. Ajaran seperti inilah yang menurut Suminto, lambat laun menggantikan kedudukan mistik dan sinkretisme yang selama ini menguasai Indonesia. Untuk yang terakhir ini tidak bisa dilepaskan dari proses masuknya Islam dan Islamisasi di Indonesia.
Saat terjadi perjalanan jamah haji besar-besaran, di Timur Tengah terdapat gerakan pembaruan, purifikasi ajaran Islam. Gerakan ini sebenarnya telah dimulai abad ke-13 oleh Ibnu Taimiyah (1263-1328). Ia berupaya mengoyak kemandegan berfikir umat Islam yang kala itu dikatakan sudah terlampau terikat dengan pemikiran-pemikiran mazhab. Gerakannya disebut ” Muhyi Atsaris Salaf ”, yakni membangkitkan kembali ajaran-ajaran Rosul dan Tabi’in. Ajaran ini disandarkan kepada Imam Ahmad Ibn Hambal yang senantiasa melakukan ijhtihad dan anti kemusyrikan serta bid’ah. Tujuan dari gerakan salaf ini adalah untuk mengembalikan agama Islam kepada Al-Quran dan As-Sunnah, serta meninggalkan pertengkaran mazhab dan segala bid’ah serta khurafat yang disisipkan ke dalamnya. Pemikiran Ibnu Taimiyah inilah antara lain yang kemudian mempengaruhi Syaikh Muhammad Abdul Wahab ( 1701-1793 ). Gerakan pembaharuan yang dilakukan oleh Abdul Wahab atau yang lebih dikenal dengan gerakan Wahabiah dikarenakan situasi di Arab Saudi kala itu dapat dikatakan sudah sangat parah.
Gerakan pembaharuan ini bukan di bidang agama saja. Jamaludin Al-Afghani selain melakukan gerakan pembaharuan, juga melakukan gerakan politik. Pan Islamisme. menunjukan bahwa kemandegan berfikir umat Islam serta keadaannya yang terjajah membuat umat Islam terbelakang dan dilanda kemiskinan. Gerakan ini kemudian dilanjutkan oleh Muhammad Abduh, dan juga oleh Rasyid Ridho dan beberapa pembaru lainnya dibandingkan dengan jamal, pengikut gerakan pembaruan setelah itu lebih menekankan pada gerakan ke arah purifikasi, kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Tidak pelak lagi, akibat kontak langsung lewat perjalanan haji, maupun secara tidak langsung lewat majalah seperti Al-’Urwat, Al-Wusqa, Al-Manar, dan beberapa majalah pembaruan lainnya, arus pembaruan ini akhirnya masuk pula ke Indonesia. Gerakan pembaruan ini di mulai di Minangkabau tokohnya adalah Ahmad Khatib dan murid-muridnya. Gerakan ini memperoleh reaksi dari kalangan Islam tradisional dan adat yang sudah lama mengakar. Dari kalangan Islam tradisional, lewat tokohnya, seperti Haji Muhammad, Ali bin Abdul Muthalib, Haji Abdul Ahmad, Haji Rosul, dan beberapa yang lain. Mereka ini menolak kritik yang dilakukan para pembaru tentang tarikat, soal-soal furu’, ijtihad, dan taqlid juga tidak luput dari kritiknya. Kalangan Islam tradisional ini lantas mendirikan organisasi Ittihadul Ulama Minangkabau, dan Persekutuan Tarbiah Islamiyah ( perti ).
Di Jawa, arus pembaruan ini melahirkan dua jenis organisasi yang memiliki visi yang berbeda. Yang pertama adalah Sarekat Dagang Islam yang lahir pada 1911 , yang bergerak di bidang perdagangan dan politik.
Yang ke-dua adalah organisasi yang bergerak di bidang keagamaan seperti Jamiatul Khair, Al-Irsyad, Muhamadiyah , dan Nahdlatul Ulama. Para pembaharu selalu mengkritik kaum tradisional dalam masalah ibadahnya dan praktek keaagamanya, akan tetapi para kaum tradisional tidak menerima kritik yang dilontarkan para pembaru karena mengangap amaliah yang dilakukanya ada alasan yang mendukung dari qur`an maupun dari sunnah. Yang jelas kehadiran para pembaharu ini membawa situasi tersendiri, maka yang terjadi adalah konflik-konlik.
Untuk menghindari koflik-konflik ini maka SI memelopori berdirinya sebuah forum dialog pada tahun 1921 terlaksanalah kongres Al-Islam di Cirebon. Namun pada kongres ini kaum tradisional sangat merasa terpojokan karena dalam kongres tersebut hanya membahas masalah-masalah furuiyah. Kekecewaan kalangan Islam tradisional semakin mendalam ketika forum ini diundang untuk menghadiri Mukhtamar Dunia Islam. Kalangan pembaru mendominasi utusanya, bahkan yang berbicara dari Islam Tradisional pun kurang terwakili. Keinginan kalangan tradisional untuk menyalurkan keinginan mendesak raja Su`ud untuk memberlakukan kebebasan bermazhab di tanah Hijaz tidak tesalurkan.
Kalangan tradisional memilki kepentingan untuk menyampaikanya kepada raja Su`ud, yang berpaham wahabiyah yang cukup fanatik. Bahkan memilki hubungan pribadi yang erat dengan Muhamad Abdul Wahab sendiri. Ketika bekuasa, ia berupaya meneraokan paham wahabiyah, sehingga kemudian muncullah berita perombakan total terhadap praktek-praktek keagamaan, seperti larangan bermazhab, ziarah kubur, dan larangan berperilaku keagamaan yang menurut paham wahabiyah dianggap sebagai bid`ah.
Kalangan Islam tradisional gusar terhadap perubahan semacam itu, karena mereka memperaktekan paham bermazhab,. Karena gagal menyalurkan aspirasinya lewat perutusan Indonesia dalam Muktamar Dunia Islam, mereka lantas mendirikan sebuah komite khusus yang menanggulangi masalah ini,bernama Komite Hijaz, panitia inilah, pada 31 Januari 1926 memutuskan untuk mengirim utusan ketanah Hijaz yaitu K.H.R. Asnawi dari Kudus hanya saja karena ketinggalan kapal keberangkatanya gagal, dan digantikan oleh K.H. Wahab Hasbullah
Sebagai wadah yang mengirim utusan ini dibentuklah organisasi bernama Nahdlatul Ulama, sebenarnya keinginan mendirikan wadah organisasi bagi para Ulama tradisional ini telah ada sejak 1924. waktu itu K.H Wahab Hasbullah telah menyampaikan kepada K.H. Hasyim Asy`ari namun waktu itu belum disetuju oleh K.H. Hasyim Asy`ari.
K.H. Hasyim Asy`ari baru merestui berdirinya organisasi para Ulama setelah adanya desakan-desakan tentang perlunya mendirikan organisasi dalam situasi itu, dan setelah mendapat restu dari K.H. Kholil, Bangkalan. Maka sejak 31 Januari 1926 berdirilah sebuah organisasi para ulama yang berpegang teguh pada salah satu empat mazhab.


MUHAMMADIYAH

Salah satu organisasi sosial Islam yang sangat penting di Indonesia sebelum perang dunia ke-dua adalah Muhammadiyah. Organisasi ini didirikan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 oleh K.H Ahmad Dahlan atas saran dari murid-muridnya dan beberapa orang anggota Budi Utomo untuk mendirikan lembaga pendidikan yang permanen.
Dahlan dilahirkan di Yogyakarta pada tahun 1869 dengan nama Muhammad Darwis, anak dari seorang kiai Sulaiman, ibunya adalah anak Haji Ibrahim. Setelah ia menyelesaikan pendidikan dasarnya dalam nahwu, saraf, fiqh, tafsir, dan hadis, ia pergi ke Mekkah tahun 1904 di mana ia belajar selama satu tahun. Salah seorang gurunya adalah Syaih Ahmad Khotib. Sekitar tahun 1930 ia kembali mengunjungi Tanah Suci di sana ia menetap dua tahun lamanya.
Dahlan telah menghayati pembaharuan setelah pulang dari berhaji yang pertama. Ia mulai mengintrodusir cita-citanya itu mulanya ia mengubah arah orang bersembahyang kepada kiblat yang sebenarnya. Kira-kira pada waktu yang sama ia pula mulai mengorganisir kawan-kawanya di daerah Kauman untuk melakukan pekerjaan suka rela dalam memperbaiki kondisi higenis daerahnya dengan memperbaiki dan membersihkan jalan-jalan dan parit.
Perubahan ini walaupun dianggap kecil bagi kita akan tetapi memperlihatkan kesadaran Dahlan tentang perlunya membuang sifat yang tidak baik dan yang memang menurutnya tidak sesuai dengan Islam.
Dalam tahun 1909 Dahlan masuk Budi Utomo dengan maksud memberikan pelajaran-pelajaran agama kepada para anggotanya. Dengan jalan ini ia berharap akan dapat akhirnya memberikan pelajaran agama di sekolah-sekolah pemeintah, oleh sebab para anggota Budi Utomo itu pada umunya bekerja di sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah dan juga di kantot-kantor pemerintah. Pelajaran yang diberikan Dahlan kelihatanya memenuhi harapan dan keperluan anggota-anggota Budi Utomo tadi, sebagai terbukti dari sasaran mereka agar ia membuka sekolah sendiri, yang diatur dengan rapih dan didukung oleh organisasi yang bersipat permanen untuk menghindarkan nasib kebanyakan pesantren tradisional yang terpaksa ditutup apabila kiainya meninggal.
Menurut Kuntowijoyo ada tiga lingkungan sosio kultural yang dihadapi oleh Muhammadiyah pada waktu didirikan yaitu tradisionalisme Islam, Javanisme, dan moderenisme kolonial. Sebagai gerakan amar ma`ruf nahi munkar dengan semboyan kembali kepada al-qur`an dan as-sunnah gerakan ini bermula hanya gerakan agama semata, tetapi semboyan itu juga membawa konsekuensi logis yang bersipat duniawi.
Empat peran muhamadiyah yang diungkapkan oleh Alwi Shihab adalah pembaruan agama, pembaruan sosial, kekuatan politik, dan pembendungan kristenisasi. Pembaruan agama Muhammadiyah yaitu tajdid, puritanisme, Islam yang otentik, dan Javanisme, maka tiga peran yang lain ( perubahan sosial, kekuatan politik, dan pembendungan kristenisasi ) ditujukan pada modernisasi kolonial.
Secara populer, Muhammadiyah merumuskan gerakannya untuk memberantas TBC ( taqlid, bid`ah, dan khurafat ) dari umat. Pemberantasan khurafat ditujukan kepada tradisionalismeIslam maupun Javanismeyang pada saat itu banyak kepercayaan mendekati syirik. Sementara itu Islam menekakan pada ikhtiyar yang rasional, maka yang terjadi rasionalisasi.
Sebagai cacatan akhir dari penulis, bahwasanya dari tulisan di atas terlihat betap pentingnya peran organisasi dakwah sebagai alat untuk memperluas jaringan dan cakupan serta objek sasaran dari dakwah itu sendiri, artinya dalam berdakwah ekalipun tidak dapat menapikan yang namanya pengorganisasian yang mapan guna untuk membidik target yang terarah serta memanfaatkan sumberdaya dengan efisien.






























DAFTAR PUSTAKA

Azra Azyumardi, The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Network of Malay-Indonesian and Middle Eastern `ulama in The Seventeenth and Eighteeik.nh Century(Leide: KITLV, 2004)

Bruinessen Van Martin , Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci,: Orang Nusantara Naik Haji, dalam Ulumul Qur`an Nomor 5, 1990

Hilmi Muhamad , NU Identitas Islam Indonesia, Jakarta: Elsas, 2004

Karim Rusli , Muhammadiyah Dalam Kritik dan Komentar, Jakarta : Rajawali , 1986

Marijan Kacung , Quo Vadis NU : Setelah Kembali ke Khittah 1926, Jakarta : Erlangga , 1992

Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, Grafiti Perss, Jakarta, 1987,

Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, LP3ES, Jakarta 1982.

Shihab Alwi, Membendung Arus, Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indoesia, ( Bandung : Mizan ), 2002

Siddiq Achmad, Khittah Nahdiyyah , Balai Buku Surabaya 1989

Stoddard Lhotroup, Dunia Baru Islam, Panitia Penerbit, Jakarta, 1986

Suminto Aqib, Politik Islam Hindia Belanda, LP3ES, Jakarta, 1986

Syamsudin Din, The Muhammadiyah Da`wa and Allocative politik in the New Order Indonesia, Studia Islamika, Volume II, 1995

Tidak ada komentar:

Posting Komentar