Minggu, 20 Februari 2011

Gender dan Pembangunan

Masalah Tenaga Kerja Perempuan di Luar Negeri

Oleh: Bagus Adimus

Banyak perempuan (terutama di pedesaan) yang tidak memiliki aset produksi dan keterampilan untuk bekerja di sektor formal akhirnya harus mengadu nasib di sektor informal, salah satunya dengan menjadi TKW. Penderita yang dialami para TKW memunculkan diskursus mengenai eksploitasi Negara terhadap perempuan pekerja migran dan pelanggaran hak-hak mereka. Selain menempuh resiko tinggi bekerja di Negara asing tanpa perlindungan hukum yang memadai, para TKW masih pula dihantui oleh kecemasan bahwa suami yang ditinggalkan akan kawin lagi, suami akan menghabiskan uang di meja judi, dan kedua hal tersebut membuat anak yang ditinggalkan menjadi tidak terurus.
Dalam era otonomi daerah saat ini pemda justru berlomba menarik retribusi dari para TKW. Misalnya, Mataram merupakan salah satu daerah pengirim tenaga kerja Indonesia yang terbesar ke Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Malaysia, Singapura, Korea, Jepang, Cina, dan Taiwan. Daerah itu mengirim TKI untuk bekerja sebagai buruh pabrik dan perkebunan, pembantu rumah tangga atau supir.
Di Mataram mengatur masalah retribusi yaitu:
1. Perda No. 7 Tahun 2002 mengenai Retribusi Pelayanan Ketenagakerjaan;
2. Perda No. 7 Tahun 2002 mengenai Retribusi Izin Keselamatan dan Kesehatan Kerja;
3. Perda No. 9 Tahun 2002 mengenai Retribusi Izin Ketenagakerjaan.
Tidak satu pun perda yang ditujukan untuk memberikan perlindungan hukum kepada para TKW yang mayoritas adalah perempuan.
Persoalan lainnya belum adanya perlindungan hukum bagi para pekerja perempuan yang mengalami dan menghadapi ancaman perdagangan manusia (trafficking). Mereka mengalami pemindahan paksa (khususnya perempuan dan anak), baik di dalam negeri maupun ke luar negeri untuk tujuan perburuhan yang eksploitatif seperti menjadi pebantu rumah tangga (PRT). Mereka kemudian mengalami penyikasaan, tidak dibayar, dan dijadikan pekerja seks ataudipaksa kawin kontrak. Perdagangan manusia terutama anak dan perempuan ini telah mendapat perhatian besar, baik di dalam negeri maupun di dunia internasional, meskipun berbagai permasalahan akibat perdagangan yang kompleks masih belum bisa tertangani.
Perlindungan hukum bagi buruh perempuan terhadap bentuk-bentuk kekerasan di atas diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003. Perlindungan terhadap marjinalisasi dapat diinterpretasikan tercakup dalam pasal 5 dan 6; terhadap bias gender dalam pengupahan dapat diinterpretasikan tercakup pada bagian pengupahan dalam pasal 88-98; terhadap fungsi reproduksi biologis perempuan dalam pasal 81-82; terhadap kekerasan seksual/pelecehan seksual dapat diinterpretasikan tercakup dalam pasal 86 ayat 1 dan 2; dan perlindungan buruh perempuan untuk terlibat dalam organisasi atau gerakan buruh terdapat dalam pasal 104, 119-121 tentang serikat pekerja.
Hukum atau kebijakan sesungguhnya merupakan sebuah produk politik. Hukum sama sekali tidak netral dan mencerminkan nilai, kepentingan, serta ideology yang dianut kelompok yang dominan. Dalam proses pembuatan kebijakan selalu ada berbagai kepentingan yang saling berkompetisi agar kepentingannya tersebut dapat terpresentasikan dalam kebijakan.
Ciri-ciri asumsi paradigm modernisasi tercermin melalui tujuan UU No. 13/2003. Jika kita melihat tujuan UU tersebut, tampak jelas bahwa tujuan utama UU adalah untuk pembangunan ketenagakerjaan untuk mendukung pembangunan nasional dan perlindungan tenaga kerja. Akan tetapi, juga nampak jelas bahwa Negara cenderung memandang persoalan tenaga kerja untuk kepentingan “pembangunan”. Negara juga cenderung untuk menggeneralisasi tenaga kerja, padahal tenaga kerja beragam status, jenis dan lapangan pekerjaannya, seperti bekerja di sector informal dan formal, bekerja di dalam negeri/luar negeri, dan sebagainya.




Kesehatan Reproduksi Perempuan
Subordinasi perempuan merupakan fakta yang akut dalam dunia kesehatan yang ditandai oleh dominasi yang berlapis antara dokter yang hampir selalu dicitrakan sebagai laki-laki dengan perawat yang dicitrakan sebagai perempuan atau antara para medis dengan pasien yang secara structural menunjukkan hubungan yang tidak seimbang. Institusi kedokteran hampir total didominasi oleh laki-laki yang tentu saja memperngaruhi cara perempuan (pasien) ditempatkan. Konsep “aurat” misalnya, tidak berlaku sebagai mana dalam kehidupan sosial pada saat seorang perempuan mendaftarkan dirinya untuk diperiksa disebuah Rumah Sakit atau klinik. Tanpa ada negosiasi seorang perempuan telah melepaskan pakaiannya untuk suatu pemeriksaan.
Kelemahan kebijakan kesehatan reproduksi dapat dilihat dari 3 hal. Pertama, kebijakan yang ada cenderung memprlakukan perempuan sebagai sasaran atau korban. Program aksi seperti kondomisasi tampak lebih banyak merugikan perempuan karena perempuan ditempatkan sebagai pihak yang lebih berkepentingan dalam menjaga kesehatan contoh lain adalah dalam pelayanan aborsi, yang mana perempuan berada pada pihak yang harus mengalami penderitaan yang tidak diinginkannya. Keputusan melakukan aborsi dalam banyak kasus memperlihatkan lemahnya posisi perempuan dalam memutuskan untuk merawat kehamilan dan melahirkan anak.
Kedua, persoalan akses pelayanan kesehatan reproduksi. Pelayanan kesehatan reproduksi dalam bentuk-bentuk tertentu tidak dapat dihadirkan sebagai fasilitas public dalam arti yang sesungguhnya akibat pro dan kontra dalampersoalan seksual secara umum. Isu yang sejak lama belum selesai dan bahkan cenderung dilupakan dalam pembicaraan public adalah “pendidikan seks di sekolah”. Kaum remaja atau pasien tidak dapat mengakses informasi yang berkaitan dengan praktek seksual atau aspek-aspek reproduktif remaja. Oleh karena itu, informasi cenderung didapatkan dari informasi yang salah. Hal ini menyebabkan terjadinya berbagai penyimpangan seks. Ketiga, masalah kualitas pelayanan dimana pelayanan yang tersedia tidak memiliki kelengkapan informasi dan fasilitas. Latar belakang social ekonomi pasien berpengaruh dalam persepsi dan penilaian mereka tentang kualitas suatu bentuk pelayanan. Peningkatan kualitas secara umum meliputi tingkat keahlian para medis dan pendekatan yang digunakan dalam melayani kepentingan pasien.
Kurangnya informasi telah menyebabkan rendahnya pengetahhuan masyarakat tentang berbagai aspek kesehatan reproduksi dan juga menyulitka kaum perempuan untuk mengakses berbagai pelayanan yang dibutuhkan.
Lemahnya posisi perempuan dalam pelayanan reproduksi tampak dari berbagai hal seperti; (1) kurangnya informasi yang dapat diakses oleh kaum perempuan dan tidak dimilikinya keahlian menolong dirinya sendiri dalam kesehatan sehingga ketergantungan pada pihak lain sangat besar; (2) lemahnya basis ekonomi perempuan yang menyebabkan ia tergantung pada pencari nafkah dan pada fasilitas kesehatan yang berkualitas rendah.
Berbagai tahap reproduksi perempuan yang meliputi menstruasi, hubungan seksual, kehamilan, persalinan, aborsi, kemandulan, penyakit kelamin atau terganggunya alat reproduksi dan lain-lain membutuhkan pelayan yang tepat untuk menuju pada suatu keadaan reproduksi yang sehat. Dalam tahap-tahap tersebut seorang perempuan tidak hanya berhadapan dengan laki-laki tetapi juga dengan berbagai pihak yang menentukan, seperti orang tua, mertua, bidan, dokter, perawat, dukun, anak dan lain-lain. Pihak-piahk tersebut memperlihatkan betapa besarnya ketergantungan seorang perempuan seperti ibu hamil, dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kesehatan reproduksinya.
Selama lebih dari 30 tahun Indonesia tidak melakukan upaya nyata untuk mengatasi terjadinya kematian ibu ketika melahirkan yang angkanya jauh di atas Negara-negara asia bahkan merupaka rekor tertinggi di Asean. Hal ini terjadi disebabkan oleh berbagai factor yang saling berkaitan, mulai dari masalah diskriminasi gender yang sangat mengakar pada budaya, interpretasi agama, dan juga masalah lemahnya koordinasi antar sector pemerintahan terkait dalam menanggulangi masalah tersebut. Peran perempuan pada umumnya dan peran ibu melahirkan pada khususnya, masalah gizi buruk yang dialami oleh perempuan akibat budaya makan yang mendahulukan laki-laki menjadi kendala besar bagi upaya penurunan angka kematian ibu ketika melahirkan. Ada kendala lain berupa keterbatasan dana untuk melahirkan di rumah sakit, dan di daerah-daerah terpencil juga banyak keterbatasan tenaga bidan untuk membantu masalah kelahiran.
Penurunan jumlah bidan merupakan dampak dari desentralisasi, karena pembayaran gaji atau honor bidan desa yang dahulu ditanggung oleh pemerintah pusat sekarang dibebankan kepada pemerintah daerah, dan banyak pemerintah daerah yang tidak mau dan tidak mampu untuk membayar gaji atau honor bidan desa tersebut. Akibatnya, jumlah bidan di desa menurun drastis.
Pelayanan kesehatan reproduksi perempuan yang bermutu ternyata tidak menjadi prioritas pembangunan. Perempuan hanya dijadikan sebagai akseptor KB yang mana tubuhnya harus rela untuk dijadikan sebagai media bagi berbagai alat kontrasepsi tanpa ada uji coba apakah alat kontrasepsi tersebut cocok atau tidak dengan kondisi kesehatan perempuan di Indonesia.
Alokasi dana kesehatan selama ini lebih banyak untuk mensubsidi rumah sakit daripada untuk memberikan pelayanan kesehatan dasar (kesehatan reproduksi perempuan masuk ke dalam kategori kesehatan dasar). Begitupun dengan sedikitnya ketersediaan tenaga kesehatan yang mudah diakses dengan murah, terutama di daerah-daerah terpencil. Kenyataan ini menunjukkan ketidakseriusan pemerintah selama ini menangani masalah kematian ibu melahirkan tersebut.
Pemda berlomba-lomba menaikkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan jalan meningkatkan retribusi kesehatan, baik tarif rumah sakit maupun puskesmas. Alih-alih menggunakan APBD untuk memberikan pelayanan kesehatan yang terjangkau untuk kalangan miskin, terutama perempuan, pemda tersebut justru menggunakan layanan kesehatan untuk memeras uang dari kalangan miskin yang seharusnya mereka layani.
Kesehatan reproduksi dalam wacana public hampir menjadi persoalan kaum perempuan yang akibat-akibatnya diderita oleh alat kontrasepsi, kehamilan, aborsi dan HIV/AIDS akibat tindakan laki-laki, maupun resiko-resiko kematian pada saat melahirkan. Hal-hal di atas sesungguhnya merupakan refleksi dari sruktur social yang timpang yang menempatkan perempuan sebagai subordinat. Kebijakan yang berusaha mencakup persoalan reproduksi dan yang berkualitas tidak akan berhasil tanpa memperhitungkan kultur dan struktur hubungan gender yang ada dalam masyarakat Indonesia. Untuk itu berbagai perubahan sistemik diperlukan untuk memberdayakan kaum perempuan pada level kebijakan sehingga berbagai usaha perbaikan kesejahteraan kaum perempuan dapat diwujudkan.

Rendahnya Pendidikan pada Perempuan
Kebanyakan orang masih terkungkung dalam udaya yang menganggap hubungan antara laki-laki dan perempuan sebagai hubungan yang agresif-pasif sehingga maskulinitas dianggap sebagai tambang kekuasaan dan kekerasan. Kekerasan terhadap istri ini memang bermula dari nilai-nilai stereotype yang berkembang di masyarakat bahwa suami berhak memperlakukan istri sesuai keinginannya.
Pembelajaran yang menjamin bagi perempuan dan laki-laki untuk memperoleh hak-hak yang sama dibidang pendidikan telah memiliki dasar hukum yang kuat karena telah diatur dalam undang-undang. Sebagaimana dinyatakan dalam UU RI No. 7 Tahun 1984 tentang pengesahan konvensi mengenai pengahpusan segala bentuk diskrimniasi terhadap perempuan bagian III pasal 10 terutama butir B dan C, pasal tersebut berbunyi “Negara-negara peserta wajib membuat peraturan-peraturan untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan guna menjamin bagi mereka hak-hak yang sama dengan laki-laki di lapangan pendidikan, khususnya guna menjamin persamaan antara laki-laki dan perempuan.
Peran orang tua juga mempunyai andil dalam kurangnya pendidikan bagi perempuan karena sebagian orang tua masih menganggap bahwa perempuan hanya mengurus rumah tangga dan tidak perlu mencari nafkah untuk keluarga karena tugas itu sudah diemban oleh suami, ini yang menyebabkan banyak perempuan-perempuan tidak ditemukan di sekolah-sekolah tingkat tinggi. Pada prinsipnya pendidikanbertujuan untuk membentuk sifat-sifat positif dalam diri manusia. Namun kenyataannya beberapa system pendidikan justru membentuk perilaku dan kebiasaan negative dan yang melahirkan ketidakadilan terhadap perempuan. Ketidakadilan tersebut terjadi sebagai akibat adanya ketidakseimbangan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Misalnya pola pendidikan dalam keluarga yang menerapkan pola patriarki atau pola pendidikan yang menggambarkan dominasi laki-laki atas perempuan dan anak di dalam keluarga. Hal ini secara tidak langsung dapat berlanjut kepada dominasi laki-laki dalam berbagai bidang kemasyarakatan. Patriarki adalah konsep bahwa laki-laki memegang kekuasaan atas semua peran penting dalam masyarakat dan kehidupan, sehingga hal ini sering kali membentuk nilai pembeda antara perempuan dan laki-laki. Oleh karena itu, perlu dibentuk suatu system pendidikan yang mengembangkan sifat positif manusia, mendorong kerja sama dan saling menghargai antara perempuan dan laki-laki serta mengahapus berbagai budaya yang melahirkan ketidakadilan terhadap wanita melalui pemahaman demokratisasi di bidang pendidikan.
Kosntitusi Indonesia menjamin hak warga Negara untuk mendapatkan pendidikan tanpa membedakan jenis kelamin. Pasal 31 ayat 1 UUD 1945 mengamantakn bahwa “Semua warga Negara berhak mendaptkan pengajaran” dan pasal 28b ayat 2 dari UUD 1945 mengatakan bahwa:

“Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekeresan dan diskriminasi.”

Pasal ini dikuatkan oleh pasal 28c ayat 1 yang berbunyi:

Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.

Selain dijamin dalam Konstitusi, ternyata komitmen Internasional dituangkan dalam dokumen Deklarasi Dakar tentang Pendidikan. Indonesia termasuk Negara yang cukup baik dalam menyediakan akses terhadap pendidikan dasar. Tingkat partisipasi pendidikan dasar mencapai lebih dari 97% baik laki-laki maupun perempuan. Tetapi sayangnya, akses kepada pendidikan ini semakin berkurang untuk tingkat pendidikan lanjutan. Berkurangnya angka melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi juga diikuti dengan semakin tingginya angka perbedaan tersebut berdasarkan gender.
Selanjutnya, meskipun telah terjadi peningkatan pendidikan bagi perempuan, tetapi perbedaan angka buta huruf antara perempuan dan laki-laki masih cukup tinggi. Menurut data-data yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan ada berbagai alasan kenapa anak perempuan tidak menamatkan sekolahnya atau tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Salah satu alasan tersebut adalah adanya hambatan cultural, yaitu masih kuatnya budaya kawin muda bagi perempuan yang tinggal di daerah perdesaan. Anggapan yang berlaku adalah bahwa setinggi-tingginya perempuan sekolah, akhirnya juga tidak akan bekerja karena perempuan harus bertanggung jawab terhadap pekerjaan rumah tangga. Hal yang paling dominan adalah hambatan ekonomi, yaitu keterbatasan biaya untuk sekolah sehingga keluarga miskin terpaksa menyekolahkan anaknya bukan hanya karena biayanya tidak terjangkau, tapi juga karena mereka berpendapat bahwa sekolah tidak menjamin bahwa anak mereka kelak akan mendapatkan pekerjaan yang layak.

Kemiskinan pada Perempuan
Kontruksi social yang menempatkan perempuan dalam struktur subordinat dalam berbgai kegiatan ekonomi baik antar sector maupun di dalam sector tertentu telah menjadi penghalang utama bagi perempuan untuk memperoleh kesempatan yang lebih baik. Struktur yang timpang, yang menempatkan laki-laki pada ujung yang satu dan perempuan pada ujung yang lain dalam suatu garis vertical, telah membedakan wilayah-wilayah ekspresi dimana perempuan dan laki-laki terlibat. Perbedaan pekerjaan semacam ini telah member basis kekuasaan pada laki-laki, yang secara langsung superioritas laki-laki dalam berbagai kegiatan ekonomi. Lemahnya pendidikan bagi perempuan juga mempunyai andil dalam kemiskinan yang dialami oleh perempuan itu sendiri, lemahnya pengetahuan yang ia dapatkan di bangku sekolah terbatas sehingga kemiskinan selalu membayang-bayangi kehidupan perempuan.
Untuk mencapai sasaran penurunan jumlah perempuan miskin, harus dilakukan analisis terhadap hal-hal sebagai berikut:
• Perbedaan bentuk, sebab dan dampak kemiskinan bagi perempuan dan laki-laki.
• Perbedaan pengalaman perempuan dan laki-laki terhadap kemiskinan.
• Ketimpangan terhadap akses dan control perempuan dalam hal ekonomi, social, budaya dan politik yang berbasiskan ketimpangan gender.
• Peran domestic dan public perempuan yang berdampak pada rendahnya partisipasi perempuan di sector ekonomi yang juga menjadi penyebab rendahnya upah perempuan dibandingkan dengan laki-laki.
• Kebijakan yang ada dan rekomendasi kebijakan yang dibutuhkan.
Indicator ketidakadilan yang berbasiskan pada ketimpangan gender dan mengakibatkan kemiskinan perempuan, antara lain adalah:
• Perempuan bukan sebgai pengambil keputusan dalam keluarga, masyarakat maupun Negara.
• Perempuan sering kali terlibat dalam pekerjaan-pekerjaan pertanian yang tidak dibayar atau dibayar rendah.
• Perempuan kurang memiliki akses terhadap pendidikan dan pelatihan.
• Perempuan mendapatkan gaji yang berbeda untuk pekerjaan yang sama.
• Perempuan kekurangan modal untuk membangun usaha sendiri.
• Perempuan tidak punya hak atas tanah yang ditinggalinya, karena tanha dan aset lainnya atas nama suami, bapak, saudara laki-laki atau kakek.
• Perempuan lebih rendah pendidikannya dari pada laki-laki karena asumsi bahwa perempuan setelah menikah akan menjadi ibu rumah tangga sehingga investasi untuk sekolah perempuan dianggap tidak menguntungkan.
• Kesehatan reproduksi perempuan belum dijadikan prioritas dalam pelayanan kesehatan masyarakat. Anggaran pemerintah bagi kesehatan dasar untuk posyandu dan puskemas masih sangat rendah.
• Perempuan selalu menjadi objek dari hubungan seksual yang tidak aman karena control perilaku seksual ada di pihak laki-laki, sehingga perempuan sangat rentan terhadap penularan HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya.
• Perempuan lebih banyak melakukan pekerjaan domestic dan tidak dibayar sehingga jam kerja perempuan lebih tinggi dari pada laki-laki, sementara penghasilan perempuan jauh lebih rendah disbanding laki-laki.
• Perempuan selalu dibayangi oleh rasa takut apabila terjadi konflik dalam rumah tangga karena selalu berada pada kondisi yang lemah dan rentan terhadap perlakuan kekerasan rumah tangga.
• Perempuan sangat rentan dalam situasi konflik.
• Perempuan janda yang dengan terpaksa menjadi kepala keluarga tetap tidak dianggap sebagai pencari nafkah utama keluarga.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Dr. Irwan. Seks, Gender & Reproduksi Kekuasaan. Yogyakarta: Tarawang Press. 2001.
Noerdin, Edriana. Potret Kemiskinan Perempuan. Jakarta: Women Research Institute. 2006.
Sumbulah, Dr. Umi, M.Ag, dkk. Spektrum Gender – Kilasan Inklusi Gender di Perguruan Tinggi. Malang: UIN-Malang Press. 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar