Minggu, 20 Februari 2011

Kyai-Kyai Tanah Jawa

Oleh: Mohamad Suandi

1. K.H. Maimun Zubair
Mentari dari tanah Jawa
Suatu ketika mbah Mun pergi ke Desa Lodan untuk mengadakan pengajian mingguan tentang tafsir, seperti biasa beliau menggunakan becak dengan dikemudikan salah seorang santri ndalemnya. Ketika sedang berada di tengah jalan mbah Mun melihat dan berpapasan dengan salah seorang santrinya spontan mbah Mun memberi perintah untuk berhenti dan langsung turun dari becak tersebut seraya memberikan salam dan membungkukan badan kepada santri tersebut sebagai rasa tawadu terhadap muridnya.

K.H. Maimun Zubair adalah gambaran sempurna dari pribadi yang santun dan matang. Semua itu bukanlah kebetulan, sebab sejak dini beliau hidup dalam tradisi pesantren yang diasuh langsung oleh ayah dan kakenya sendiri. Beliau membuktikan bahwa ilmu tidak harus menyulap pemiliknya menjadi tinggi hati disbanding yang lainya.
KH Maimun lahir pada hari kamis, 28 oktober 1928, hari dimana lahirnya sumpah pemuda. Beliau adalah putra dari KH Zubair Dahlan. Seorang kiai yang tersohor karena kealiman dan kesederhanaanyadan sifatnya yang merakyat,salah seorang murid pilihan dari Syaikh Sa`id Al-Yamani serta Syaikh Hasan al-Yamani al-Makky, dua ulama yang kesohor pada saat itu. Ibundanya adalah putri dari kiai Ahmad bin Syu`aib, ulama kharismatik yang teguh memegang pendirian.
Kematangan ilmunya tidak ada satu pun orang yang meragukan. Sebab sedari kecil beliau sudah dibesarkan dengan ilmu-ilmu agama dan juga ilmu pengetahuan umum. Sebelum menginjak remaja, beliau diasauh langsung oleh ayahnya untuk menghafal dan memahami ilmu agama seperti ilmu Shorof, Nahwu, Fiqih, Mantiq, Balaghah,dan bermacam-macam ilmu syara lainya.
Pada usia 17 tahun beliau sudah hafal diluar kepala kitab Jurumiyah, Imrity, Alfiyah Ibnu Malik, Matan Jauharohu At-Tauhid, Sullamul Munawaroq, serta Rohabiyyah fil Faroid. Seiring pula dengan kepiawainya melahap kitab-kitab fiqh mazhab Safi`i, seperti Fathul Qorib, Fathul Mu`in,Fathul Wahhab dan lain sebagainya.
Pada tahun 1945 beliau memulai pengembaraanya untuk ngangsu kaweruh ke pondok Lirboyo Kediri, selama kurang lebih lima tahun, di bawah bimbingan KH. Abdul Karim (Mbah Manaf), KH. Mahrus Ali dan KH. Marzuqi.
Menginjak usia 21 tahun beliau meneruskan pengembaraanya ke Makkah Al-Mukarromah , selama 2 tahun mendalami ilmu agamanya di bawah bimbingan Sayyid `Alawi bin Abbas Al-Maliki, Syaikh Al-Imam Hasan Al- Masysyath, Sayyid Amin Al-Qutbhi, Syaikh Yasin bin Isa Al-Fadanidan masih banyak lagi.
Sekembalinya dari tanah suci, beliau masih mengasan dan memperkaya pengetahuanya dengan belajar kepada ulama-ulama besar tanah Jawa saat itu. Seperti KH. Baidlowi Lasem (mertua beliau), KH. Ma`shum Lasem, KH. Ali Ma`shum Krapyak, KH. Bisri Musthofa Rembang, KH. Abdul Wahhab Chasbullah, KH. Muslih Mranggen, KH. Abbas Buntet Cirebon, Syaikh Ikhsan Jampes Kediri dan Juga KH. Abul Fadol Senori.
Pada tahun 1965 beliau mengabdikan dirinya untuk berkhidmat pada agama. Hal itu diiringi dengan beliau mendirikan sebuah Pondok Pesantren yang berada di sisi kediaman beliau yang tadinya adalah sebuah musholah. Pesantren yang diisi ribuan santri putra dan putri yang sekarang dikenal dengan nama Al-Anwar, satu dari sekian pesantren yang ada di Karangmangu Sarang Rembang.
Kemudian pada tahun 2008 beliau kembali mendirikan Pesantren dengan nama Al-Anwar 2 di Gondan Sarang Rembang yang berbasis Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah, yang kemudian oleh beliau dipasrahkan pengasuhanya kepada putranya KH. Ubab Maimun.
Mbah Mun,begitu biasa orang memanggilnya, banyak dikenal dan mengenal erat tokoh-tokoh nasional, tapi itu tidak menjadikanya tercerabut dari basis tradisinya semula. Walaupu sering kali menjadi tempat peraduan bagi keluh kesah masyarakat, tapi semua itu tetap tidak menghalanginya untuk menyelami dunia luar. Pada usia 25 tahun, beliau menikah dengan Fahimah putrid dari KH Baidlowi lasem dan selanjutnya menjadi kepala pasar Sarang selama 10 tahun. Dan pernah menjadi anggota DPR dan MPR RI utusan Jawa Tengah selama tiga periode.
Dalam dunia politik beliau tergolong kiai yang adem ayem. Di saat NU sedang ramai mendirikan PKB tahun 1998, mbah Mun lebih memilih diam dan istiqomah di PPP partai dengan lambang Ka`bah. Keharuman nama dan kebesaran beliau sudah tidak bisa dibatasi lagi peta geografis. Banyak sudah kiai dan santri yang berhasil “ jadi orang” karena ikut di-gulo wentah dalam pesantren beliau. Dan telah terbukti bahwa ilkmu-ilmu yang dimiliki tidak hanya membesarkan jiwa beliau secara pribadi, tapi juga membesarkan setiap santri yang bersungguh-sungguh mengecap tetesan ilmu dari beliau.

2. KH. Imam Kholil
Waliyulloh, Mediator Alam Ghaib
Pagi itu masyarakat Sarang digegerkan dengan kejadian ditemukanya mayat yang diduga mayat tersebut adalah korban dari amukan badai, dari fisik yang terlihat jelas bahwa mayat ini adalah bukan orang Indonesia dan diduga adalah warga Arab. Yang lebih mengherankan para warga berusah menganggkat mayat tersebut untuk dipindahkan tetapi tidak berhasil, akhirnya para warga berinisiatif soan pada mbah Imam untuk menenggok mayat tersebut, dan mbah Imam pun langsung bergegas mendengar fenomena ini mbah Imam Sholat 2 rokaat dan membaca do`a selesai sholat dan berdo`a mbah Imam berkata dia adalah auliya bernam Abdulloh Al-Hadromi dan dia tidak ingin dipindah jenasahnya, lalu dengan membaca Bismillah mbah Imam menganggkat mayat tersebut dan berhasil
KH. Imam Kholil adalah Putra dari KH Syu`aib bin Abdul Razak. Beliau dilahirkan tahun 1317 H. Pendidikan awal beliau didapat langsung dari ayahandanya, beliau mengaji secara langsung tentang ilmu-ilmu agama kepada ayahnya sehingga diusia muda beliau sudah terkenal dengan kealiamnaya. Kepiawainya dalam masalah ilmu-ilmu agama terlihat dalam bagaimana beliau mengkaji ilmu-ilmu agama khusnya fiqh,diusia yang relative muda beliau sudah menguasai cabang-cabang ilmu agama, seperti Nahwu, Shorof, Mantiq, Balaghah, dan kitab-kitab fiqh mazhab Imam Syafi`i.
Kemudian setelah menimba ilmu dengan ayah dan pada kiai di Sarang beliau meneruskan pengembaraanya ke Bangkalan untuk berguru pada Kiai Kharismatik asal Madura yaitu KH. Ahmad Kholil Bangkalan. Di Pesantren ini beliau mendalami berbagai macam fan ilmu agama terutama ilmu Tasawuf dan ilmu Nahwu dan Shorof (Gramatika Arab), selepas dari pesantren ini KH. Kholil memberikan ijasah thoriqoh pada Mbah Imam dan memberikan nama Kholil di belakang nama Imam.
Pada tahun 1338 H, beliau berangkat ke Makkah untuk menunaikan Ibadah Haji dan meneruskan menuntut ilmu pada ulama-ulama tanah Hijaz dan bermukim di sana selama 5 tahun. Di Makkah beliau berguru kepada Saiykh Baqir Al-Jakjawi dan kepada ulama-ulama tanah Hijaz lainya.
Pada tahun 1343 H, beliau kembali ke Indonesia, untuk meneruskan pesantren yang dirintis ayahnya yaitu Pondok Pesantren Ma`hadul Ilmi As`syari, salah satu Pondok Pesantren yang ada di Karangmanggu Sarang Rembang, menggantikan kepemimpinan KH.Fathurrohman Ghozali (mertua beliau).
KH. Imam Kholil menikah dengan Nyai Fadillah Putri dari KH. Fathurrohman dan dikaruniai dua orang putri. Ketika nyai Fadilah wafat KH. Imam Kholil menikah untuk yang kedua kalinya yaitu dengan nyai Zainab dan tidak dikaruniai keturunana, kemudian KH.Imam Kholil Menikah kembali dengan Nyai Robiah dan dikaruniai banyak anak baik putra atau putrid,diantaranya adalah KH. Umar Faruq, KH.Abdul Razak,Dan KH.Faqih Imam.
Saat pesantren sedang mengalami kemajuan yang pesat KH. Imam Kholil tidak lagi dapat meneruskan perjuanganya, karena sakit beliau wafat pada tahun 1401 H dalam usia 84 tahun dan dimakamkan dipemakaman Stumbun Sarang Rembang Jawa Tengah.

3. KH. Djazuli Usman
Sang Blawong, dan Pemangku Kebesaran
Mas`ud adalah seorang yang cerdas terbukti dia pernah sekolah kedokteran di stovia, entah dengan pertimbangan apa ayahnya menyurati Mas`ud untuk keluar dari sekolahnya dan ingin di masukan ke pesantren. Mas`ud adalah anak yang sholeh dan ta`at pada orang tuanya dan menuruti apa kemauan orang tuanya. Di hari pertama pesantren Mas`ud tidak langsung masuk asrama karena kurangnya bekal yang di bawa oleh Mas`ud dia lebih memilih untuk tinggal di Mushola. Seuatu hari Kiai Zainudin mengunjungi Mas`ud di Mushola, dan berkata “ Nger…endang melebu teng pondok..! sesuk kowe bakalan dadi Blawong…! Mas`ud menjawab kulo boten gadah sanggu mbah….! Ternyata Mas`ud diprediksikan akan menjadi ulama besar oleh KH Zainudin, dengan kata : bakal jadi Blawong, yaitu burung perkutut yang amat mahal harganya yang hanya dimiliki oleh Raja Brawijaya.
Semasa kecil, KH Djazuli bernama Mas`ud.lahir pada 16 Mei 1900di Ploso, Kediri, dalam lingkungan keluarga naib (penghulu urusan agama Islam). Ia menyelesaikan pendidikan di Inlandsche Vervolgh School (setingkat SLTP) selama 2 tahun. Kemudian melanjutkan belajar di Hollandsch Inlandesche School (setingkat SLTA) di Geringing, Kediri. Setelah tamat, Mas`ud meninggalkan Kediri untuk melanjutkan belajar di Stovia(sekarang fakultas kedokteran UI) pad usia 16 tahun.
Mungkin disebabkan oleh pertimbangan lain dari KH Ma`ruf, Kedunglo, seorang tokoh kharismatik yang termasyhur kwaliyanya, Mas`ud terpaksa keluar dari Stovia dan melanjutkan belajar di Pesantren.
Diantra pesantren yang pernah disinggahi oleh Mas`ud adalah Pesantren Gondanglegi, Nganjuk, yang diasuh oleh KH Ahmad Sholeh,Pesantren Sono, Sidoarjo, Pesantren Sekarputih, Nganjuk, yang diasuh oleh KH Abdurrahman, Pesantren Mojosari, Nganjuk, yang diasuh oleh KH Zainudin(Kiai ini kelak menikahkan Mas`ud dengan salah satu putri angkatnya bernama Badriyah dari putri KH Khozin, Widang, Langitan,Babat).
Mas`ud juga pernah belajar kepada Syaikh Al-Alamah `Aidrus di Jabal Hindi, Makkah, saat ia menunaikan ibadah haji. Sepulang dari ibadah haji, Mas`ud kemudian meneruskan belajarnya di Pesantren Tebuireng Jombang, di bawah asuhan KH Hasyim `Asy`ari karena istrinya meninggal saat Mas`ud masih belajar di Makkah. Di pesantren Tebuireng, Mas`ud malah di suruh membantu mengajar tafsirdan sering mewakili pesantren Tebuireng kesejumlah pertemuan dengan para tokoh nasional untuk membahas berbagai persoalan hokum.
Dari pesantren Tebuireng, Mas`ud berganti namaa menjadi H. Djazuli. Ia menikah lagi dengan Hannah, putri K. muharrom Karangkates dan meneruskan belajarnya ke pesantren Tremas, Pacitan, yang diasuh oleh KH Dimyati, adik KH Mahfuz At-Termasi.
Baru pada 1924, H Djazuli kembali ke tanah kelahiranya untuk merintis pesantren dengan seorang santri dan 12 orang yang mengikuti pengajianya. Pada 1 Januari 1925, Pesantren ini dinamakan Pesantren Al-Falah.
Selama perjuangan membangun Al-Falah KH Djazuli kerap berkeliling ke plosok suatu daerah, mengunjungi para hartawan dan mengajaknya mengulurkan tangan dan beraamal jariyah untuk pembangunan pesantrenya. Dengan menggunakan sepedah pancal, secara sabar dan telaten KH Djazuli keliling Kediri, Tulungagung, Trenggalek dan Blitar. Perjuangan KH Djazuli ini mengandung fungsi ganda. Di saping mengajak para dermawan untuk beramal jariyah KH Djazuli juga mempromosikan bahwa dirinya telah membangun pesantren atau setidaknya mengabarkan kepaada masyarakat luas bahwa di Ploso telah berdiri sebuah pesantren baru.
Setelah beberapa tahun berjuang mendirikan pesantren dengan menyandang status duda dua kali, baru pada 15 Agustus 1930, Kh Djazuli menikah lagi dengan Nyai Rodhiyah. Istri ke-3 KH Djazuli ini bernama asli Roro marsinah, seorang janda muda shalehah putrid KH Mahyin, yang bercerai dengan suami pertamanya KH Ikhsan Jampes.
Sejak tahun 1968 KH Djazuli menderita sakit hernia dan dirawat di rumah sakit Baptis Kediri. Kondisi KH Djazuli dari hari ke hari semakin parah, karena terserang penyakit prostat, jantung,, dan paru-paru.
Tepat pada hari sabtu wage, 10 Januari 1976, KH Djazuli wafat dalam usia 76 tahun. Dan dimakamkan di pesantren Ploso Kediri. Pada saat KH Djazuli wafat juga bertepatan dengan acara hajat besar-besar khitan cucu beliau putra dari KH Hamim Djazuli (Gus Miek).

4. KH. Hamim Djazuli (Gus Miek)
Pendakwah di Lembah Hitam dan Pendiri Zikrul Ghofilin
Suatau hari, Gus Miek dengan diikuti Gus Farid masuk ketempat hiburan malam. Di tempat orang suka dugem dan mengkonsumsi narkoba serta minum-minuman keras, Gus Farid coba menutupi identitas Gus Miek agar tidak dilihat dan dikenali pengunjung.
“Gus, apakah sampean jama`ahnya kurang banyak ? Apakah Sampean kurang kaya ? Kok masuk tempat seperti ini?” Tanya Gus Farid penasaran. Usai melontarkan pertanyaan, Gus Farid langsung kaget,karena tak menyangka Gus Miek terlihat emosi mendengar pertanyaan itu.
“ Biar nanti saya cemar di mata manusia,tetapi tenar di mata Allah. Apalah arti sebuah nama. Paling mentok, nama Gus Miek hancur di mata ummat. Semua orang yang di tempat ini juga menginginkan surga, bukan hanya jama`ah saja yang menginginkan. Tetapi, siapa yang berani masuk ? Kiai mana yang berani masuk ke sini?” kata Gus Miek dengan penuh emosi.
Gus Farid terdiam. Tak lama setelah itu Gus Miek pun kembali ceria seolah lupa dengan pertanyaan Gus Farid yang baru saja disampaikan.
Lahir di Kediri pada 17 Agustus 1940. Nama aslinya KH Hamim Tohari Jazuli, biasa disapa Amiek atau Gus Miek. Ayahnya , KH Jazuli Usman adalah pendiri Pondok Pesantren Al-Falah, Ploso, Mojo, Kediri.
Semasa kecil pernah masuk Sekolah Rakyat di Ploso, namun tidak tamat. Ia lebih suka belajar di pesantren salaf dan mendalami ajaran tasawuf. Mula-mula masuk Lirboyo, lalu ke pesantren Darussalam Watucongol untuk belajar pada Mbah Dalhar. Dari sanalah pengembaraan spiritualnya banyak dimulai. Ia banyak berguru pada ulama yang lebih dikenal dengan waliyulloh.
Pernah belajar pada KH Mubasyir Mundzir (Tulungagung), Gus Ud (Sidoarjo), Mbah Hamid (Pasuruan), KH Abdul Madjid (Kedunglo, Kediri), Mbah Jogoreso (Kedungpring, Magelang), KH Hamid (Kejoran, Magelang),KH Ashari (Lempuyang,Jogjakarta).
Di samping itu juga berguru pada KH Arwani (Kudua), KH Ali Maksum (Krapyak, Jogja),Mbah Mangli (Magelang), KH Muslih (Mranggen Demak), Mbah Benu (Jogjakarta). Rata-rata gurunya adalah orang yang dikenal sebagai waliyulloh dan akrab dengan dunia kesufian.
Banyak orang meyakini bahwa Gus Miek adalah waliyullah. Hal itu dikarenakan Gus Miek seringkali berperilaku aneh dan tidak lazim untuk kalangan kiai. Ia suka begadang di diskotik sambil merokok dan meminum minuman keras, masuk dan membawa WTS ke dalam kamar lokalisasi pelacuran, bermai judi, dsb. Namun pada akhirnya langkah yang ditempuh itu membuahkan hasil dan banyak dikagumi orang. WTS yang dibawa kedalam kamar, misalnya, begitu keluar langsung tobat dan berhenti praktek. Arena judi yang didatangi biasanya langsung bubar karena Gus Miek selalu menang,dsb.
Ia juga terkenal sangat ringan tangan dalam mendukung dakwah. Misalnya, demi mengentaskan wanita nakal di Surabaya yang menjadi simpanan oknum pejabat tinggi militer, ia rela melepaskan sebuah arloji emas untuk memancing agar wanita itu mau mendekat dan mau mendengar arahan darinya. Namun ketika arloji emas belum bisa menaklukan hati wanita nakal itu untuk mendekat dan melupakan sang pejabat, ia merelakan sebuah mobil kijang terbaru saat itu untuk menarik hati wanita tersebut. Lewat mobil kijang itulah akhirnya hati perempuan itu bisa dikuasai Gus Miek dan secara perlahan diarahkan menuju jalan kebenaran.
Pada saat yang lain, ia menang besar dalam perjudian. Uang satu kantong terigu berada di tanganya. Namun anehnya, ia dan pendampingnya tidak mengambil serupiah pun dari uang itu. Justru ia naik becak,dan uang itu disebarkan di sepanjang jalan raya untuk para tukang becak dan tukang kopi pinggir jalan.
Kecintaanya pada al-Qur`an dan lelaku sudah dijalaninya sejak kecil. Identik dengan para guru pembimbing ruhaninya. Berangkat dari semangat untuk terus mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui jalur tarekat dan suluk, Gus Miek mendirikan Jamaah Mujahadah Lailiyah di Tulungagung (1961). Isinya adalah secara bersama-sama melakukan taqorrub kepada Allah di waktu malam dengan membaca kirim fatehah kepada para ahli kubur, istigfar, sholawat,zikir-zikir dan Asma`ul Husna secara berjamaah dengan dipimpin seorang imam. Biasanya mulai pukul 01.00 WIB hingga pukul 03.00 WIB.
Pada tahun 1973, Gus Miek bersama KH Ahmad Siddiq dan KH Abdul Hamid Magelang mendirikan wadah baru lagi bernama jam`iyah Dzikrul Ghofilin. Isinya juga sama tidak jauh berbeda dengan Mujahadah Lailiyah. Tak lama kemudian mendirikan Semaan Mantab untuk komunitas para penghafal al-Quran.
Gus Miek wafat pada sabtu, 5 juni 1993. Di makamkan di makam Auliya` desa Tambak,Ngadi,Mojo, Kediri. Satu makam dengan KH ahmad Siddiq dan KH Yasin Yusuf. Salah satu ajaran penting Gus Miek adalah kerendahan hati. Prinsip yang selalu dipegang “aku hanyalah” bukan “ aku adalah”.

5. KH Abdul Karim (Mbah Manaf)
Ahli ILmu Alat dari Kediri
Mbah Manaf banyak dikenal orang karena kealimanya dan ketawadu`anya dan selalu menyembunyikan identitas ke-ulamaanya sehingga hampir selalu mengelabui orang yang ingin berguru padanya karena selalu berpenampilan sederhana layaknya seorang tukang kebun.
Alkisah suatu ketika ada seorang calon santri kaya yang ingin berguru dan mendalami ilmu alat di Lirboyo, sesampainya di depan pintu gerbang pesantren dia melihat seorang bapak tua yang berpakaian lusu layaknnya tukang kebun. Santri tersebut pun memanggilnya pak…pak sini,.! Ia nak ada apa? Tolong pak bawakan tas dan koper-koper saya nanti saya kasih upah pak. Tanpa pikir panjang pak tua itu langsung membawakan koper santri tersebut.Spontan semua santri Pesantren Lirboyo kaget karena Mbah Manaf membawakan koper santri tersebut. Sesampainya di kamar santri itu memberikan upan dan diterima oleh pak tua tersebut, santri itu lalu bertanya pak kalau saya mau ketemu dengan KH Abdul Karim dimana ya?.
Oh adik mau ketemu dengan Mbah Manaf ya? Betul pak…! Sambil tersenyum pak tua itu berkata saya Mbah Manaf….sambil berlalu dari hadapan santri itu. Karena malu dan merasa sangat tidak sopan santri tersebut mengurungkan niat untuk belajar denga Mbah Manaf
Beliau dilahirkan pada tahun 1856, di sebuah desa terpencil bernama Diangan, Kawedanan Mertoyudan Magelang Jawa Tengah. Nama kecil beliau adalah Manab, beliau putra ketiga dari 4 bersaudara, dari pasangan Kiai Abdurahim dan Nyai Salamah. Pada saat Manab kecil berusia 14 tahun , mulailah beliau melakukan pencarian ilmu agama, daerah yang pertama yang beliau tuju adalah desa Babadan Gurah Kediri, lantas beliau meneruskan pengembaraanya di daerah Cempoko, 20 Km arah selatan Nganjuk, beliau menuntut ilmu kurang lebih selam enam tahun.
Selanjutnya beliau pindah ke pesantren Trayang,Bangsri Kertasono nganjuk Jawa Timur, di sinilah beliau memperdalam pengkajian ilmu al-Qur`an, beberapa tahun kemudian beliau teruskan pengembaraanya dalam Tholabul Ilmi di Pesantren Sono, sebelah Timur Sidoarjo. Sebuah pesantren yang terkenal ilmu Shorofnya beliau mukim di tempat ini selama tujuh tahun.
Periode selanjutnya beliau meneruskan nyantri di pesantren Kedungdoro Sepanjang Surabaya, hingga akhirnya beliau meneruskan pengembaraan ilmunya sdi salah satu pesantren besar di Madura, yang di asuh oleh seorang ulama bernama Saiykh Kholil Bangkalan. Cukup lama beliau menuntut ilmi di Madura sekitar 23 tahun, begitu lamanya beliau menimba ilmu sehingga menjadikan kemampuan beliau terasah dan mumpuni.
Pada saat berusia 40 tahun KH Abdul Karim beliau meneruskan mondok di Tebuireng Jombang, yang diasuh oleh sahabatnya semasa di Madura yaitu KH Hasyim As`ari, sehingga pada satu ketika KH Hasyim menjodohkan Mbah Manab dengan putrid KH Sholeh dari banjar melati Kediri. Akhirnya pada tahun 1328 H atau 1908 M Mbah Manab menikah dengan Siti Khodijah. Yang kemudian dikenal dengan Nyai Dlomroh, 2 tahun kemudian Mbah Manab bersama istinya tercinta hijrah ketempat baru di sebuah desa terpencil bernama Lirboyo tepatnya pada tahun 1910 M. Di sinilah titik awal berdirinya pesantren Lirboyo. Kemudian tahun 1913, Mbah Manab mendirikan Masjid sebagai sarana ibadah dan ta`lim wa taalum littolabah.
Secara sederhana Mbah manab adalah sosok yang sangat sederhana dan bersahaja, beliau gemar melakukan riyadoh sehingga hari-hari beliau berisi pengajian dan thariqot saja. Beliau adalah ulama yang sangat istiqomah dalam ibadah dan membimbing para santrinya.
Pada tahun 1954 tepatnya hari senin tanggal 21 Ramadan 1374 H, KH Abdul Karim beliau berpulang kerahmatulloh setelah melaksanakan ibadah haji yang menjadi haji terakhir bagi KH Abdul Karim dan di makamkan di belakang masjid Lirboyo.

6. KH Tubagus Muhamad Falak bin Abbas
Sang Maestro Ilmu Falaq
Suatu hari ketika Abah Falak sedang mengaji dihadapan para santri dan terdiam sejenak. Dan setelah terdiam Abah Falak berkata “Hai para santri sebentar lagi lampu pelita yang menjadi penerangan pengajian kita akan pecah pada detik sekian dan menit sekian”. Spontan para santri pun mencatat apa yang dikatakan sang guru. Ketika saat waktu yang dikatakan itu tba, maka tiba-tiba ada seekor kucing loncat dan menerjang lampu pelita itu sehingga terjatuh dan pecah.
KH TB Muhamad Falak, lahir pada tahun 1258 H, atau 1824 M di Desa Sabi, Pandeglang, Banten . ayahnya KH TB Abbas, dan Kakenya Kiai TB Mu`min Abdul Hamid, adalah dua ulama besar dan bangsawan terkenal di daerah Banten dan mempunyai hubungan kekerabatan dengan kesultanan Banten. Ibunya bernama Ratu Quraisyin, berasal dari daerah Pandeglang, juga masih keturunan kesultanaan Banten.
KH Tubagus Muhamad Falak pada masa kecilnya hanya dipanggil Muhamad. Namun setelah ia dianggap berhasil menguasai ilmu Hisabdan ilmu Falak, ia mendapat gelar “Falak” yang merupakan pemberian salah seorang gurunya di Makkah, yaitu Syaikh Afandi Turki.
Pendidikan dasar diperoleh langsung dari ayah dan kakenya. Ia ditempa berbagai macam ilmu agama khas pesantren. Pada masa-masa pertama pendidikanya, ia telah menyelesaikan pendidikan beberapa kitab, antara lain Fathul Mu`in, Safinatu An-Najaah, Sarah Sittin, Sullam At-taufik, Al-Jurumiyah dan Awamil.
KH Tubagus Muhamad Falak sejak usia muda mendapatkan pendidikan agama Islam dari orangtuanya dan beberapa KIai di Banten. Pada usia 15 tahun, atas dorongan orangtuanya ia meninggalkan tanah kelahiranya menuju Makkah untuk melaksanakan ibadah haji dan sekaligus menuntut ilmi. Selama 21 tahun, ia mukim di Makkah dan Madinah. Ia memanfaatkan waktu selama itu untuk belajaar berbagai ilmu agama dari para maha guru yang cukup terkenal pada masa itu.
Di Makkah, KH Tubagus Muhamad Falak mempelajari ilmu Al-Qur`an, Tafsir dan ilmu Fiqh kepada Syaikh An-Nawawi Al-Bantani dan Sayyid Mansur Al-Madani. Mengenai ilmu hadis,ia belajar kepada Sayyid Amin Al-Quthbi. Sedangkan ilmu Tasawuf ia belajar pada Sayyid Sa`id Al-yamani dan Sayyid Abdullah Az-zawawi. Sedangkan ilmu thariqat ia pelajari dari Syaikh Umar Badjened dan Syaikh Ahmad Djaha. Ia juga belajar ilmu Falak secara Khusus kepada Sayyid Afandi Turki. Selanjutnya ia kembali memperdalam pengetahuan fiqhnya kepad Sayyid Ahmad Habsyi dan Sayyid Ahbad Ba`arum, keduanya berasal dari Etiopia.
Selain menimba ilmu dari para guru di atas, ia juga banyak berguru pada ulama-ulama besar lainya, seperti Sayyid Abdul Fatah Makkah, Syaikh Ali Jabrah Mina, Syaikh Karim Agung, Syaikh Idrus Menes, Syaikh Nawawi Caringin, dan lain-lain.
Sewaktu di Makkah dan Madinah, KH Tubagus Muhamad Falak tergolong murid yang pandai. Pada usia yang ke-36, ia benar-benar telah menguasai ilmu Tafsir, Hadist,Fiqh,Nahwu, Balaghah,Hikmah,Tasawuf, dan ilmu-ilmu lainya, sehingga banyak dari tokoh-tokoh nasional datang padanya untuk meminta nasihat dan petunjuk, seperti Bung Karno,Saifudin Zuhri dan lain-lain.
Selama belajar di Makkah, ia belajar bersama dengan KH Hasyim Asy`ari (pendiri pesantren Tebuireng Jombang, dan pendiri Organisasi terbesar Islam di Indonesia Nahdlatul Ulama), dan KH Ahmad Dahlan (pendiri organisasi Muhammadiyah).
Setelah 21 tahun berada di Makkah dan Madinah, KH Tubagus Muhamad Falak kemudian kembali ke Banten dan menetap di Pagentongan, Bogor. Serta mendirikan Pesantren Pagentongan di desa Gunung Batu, Ciomas, kabupaten Bogor. Di pondok ini , selain mengutamakan ilmu-ilmu agama, ia juga banyak menguasai ilmu bela diri baik secara fisik maupun batin. Bahkan pendidikan bela diri sengaja diajarkan kepada para santrinya mengingat rawanya perampokan yang terjadi di daerah tersebut,dan pada masa itu adalah masa penjajahan,dan KH Tubagus Muhamad Falak mewajibkan santrinya untuk berjuang melawan penjajah. Kemahiranya atas ilmu bela diri telah melambungkan namanya sebagai salah seorang “ pendekar” yang disegani kawan ataupun lawan di daerah Jawa Barat.
KH Tubagus Muhamad Falak selama hidupnya telah menikah tujuh kali. Diantaranya adalah Nyai Fatimah binti Haji Ramli dari kampung Gentong. Dari pernikahan ini ia dikaruniai seorang putra yaitu Thohir Falak. Sedangkan beberpa orang istri lainya, yaitu Siti Tjiwaringin,Maimunah,Mimi, dan Ibi. Dengan Siti ia tidak mempunyai anak,dengan Maimunah ia memiliki 5 orang anak yaitu: Mintarsih, Titi,Cecep,Fakhrudin, Agus faturahman,dan Titin. Dengan Mimi memperoleh 5 orang anak yaitu, Dedeh Badriyah,Umi Kalsum,Lah Saidah, dan Eus Salbiah. Sedangkan dengan Ibi ia memperoleh dua orang anak yaitu Asep Saifudin dan Amana.
KH Tubagus Muhamad Falak Abbas wafat pada tanggal 19 Juli tahun 1329 H atau pada tahun 1972 M, pada usia 148 tahun, dan dimakamkan di Pagentongan Bogor. Demikian perjalanan hidup seorang ulama yang bukan hanya alim dalam ilmu agama tapi juga jago dalam ilmu bela diri,ia telah berhasil menyebarkan Islam di Indonesia khususnya Jawa Barat lewat pesantren yang di Bangunya.

7. KH Abbas
Ulama Kharismatik : Ahli Ilmu Kadigdayaan
Setiap usai shalat dzuhur atau asar,sebuah langgar yang berada di Pesantren Buntet itu selalu disesaki para tamu. Mereka berdatangan hampir dari seluruh pelosok daerah. Jangan kaget , mereka bukan para santri yang hendak menimba ilmu agama, melainkan masyarakat yang hendak menimba ilmu kesaktian kepad Kiai Abbas Jamil yang menempati langgar sederhana.
Di dalam langgar beratap genteng itu terdapat dua kamar dan ruang terbuka cukup lebar dengan hamparan tikar yang terbuat dari pandan. Di ruang inilah Kiai Abbas menerima tamu yang tak henti-hentinya. Saat itu usianya sudah 60 tahun, Kiai Abbas yang sudah memasuki usia senja itu lebih berkonsentrasi dengan kegiatan dakwahnyadi masyarakat dan mengajar ilmu-ilmu kesaktian dan bela diri.
Bukanlah suatu pemandangan yang aneh apabila Kiai Abbas menerima tamu tertentu yang langsung di bawa masuk ke kamarnya pribadinya. Sesaat kemudian dari dalam terdengar suara gaduh, seperti kelebatan tangan dengan bunyi “ Plak! Plak! Atau hentakan kaki yang diiringi suara” Hiat ! hiat !”
Lahir pada hari Jum`at 24 Djulhijjah 1300 H/ 1879 M di Desa Pekalangan, Cirebon. Putra sulung dari KH Abdul Jamil, cucu dari KH Muta`ad, menantu dari pendiri pesantren Buntet Mbah Muqayyim.
Semasa kecil belajar pada ayahnya sendiri, setelah menguasai dasar-dasar ilmu agama baru berpindah ke Pesantren Sukasari, Plered, Cirebon,di bawah asuhan Kiai Nasuha. Setelah itu masih di daerah Jawa Barat, ia pindah ke Pesantren Jatisari di bawah asuhan Kiai Hasan. Baru setelah itu keluar daerah, yakni kesebuah Pesantren di Tegal, Jawa Tengah, yang di asuh oleh Kiai Ubaidah. Setelah itu pindah kepesantren Tubuireng, Jombangdi bawah asuhan KH Hasyim Asy`ari. Di Tebuireng lah kematangan Kiai Abbas banyak terbentuk,sebab di Pesantren itu pula ia bertemu dengan KH Abdul Wahab Hasbullah dan KH Abdul Karim (Mbah Manab).
Dari Tebuireng ini ia melanjutkan pendidikan ke Makkah. Salah seorang gurunya adalah Syaikh Mahfudz At-Turmusi, seorang ulama besar tanah Hijaz asal Termas Pacitan Jawa Timur. Ia juga guru para ulama tanah Jawa generasi pertama. Saat belajar, Kiai Abbas juga mengajar para mukimin (pelajar yang belajar di Saudi Arabia dan tinggal di Makkah).
Selalu aktif dalam perjuangan. Ia dikenal sebagai ulama yang memiliki kelebihan dalam ilmu kadigdayaan dan ilmu kanuragan, di samping penguasaan ilmu agama yang sudah menjadi pegangan awal. Selain dalam pendidikan,Kiai Abbas juga aktif dalam medan pertempuran. Termasuk dalam pergolakan fisik,dengan penjajah Belanda dan Jepang. Bahkan ia terpilih sebagai komandan barisan Sabilillah, di daerah Buntet dan sekitarnya. Pondoknya di daerah Buntet identik dengan markas perjuangan rakyat.
Sabilillah adalah wadah perjuangan rakyat melawan penjajah Belanda, Jepang dan Inggris dengan anggta dari kaum tua. Sedangkan para pemuda diwadahi dalam Hizbullah, yang sempat mendapaatkan pendidikan kemiliteran dari tentara Jepang. KH Abdullah Abbas, putra KH Abbas,bergabung debgan pasukan Hizbullah dan menjadi salah satu pemimpin yang disegani. Sementar santri-santri muda diwadahi dalam organisasi Asybal. Mereka bertindak sebagai mata-mata sekaligus sebagai penghubung antara para pejuang yang ada dibarisan depan, tengah, hingga belakang.
Dalam peristiwa perang 10 November 1945, Kiai Abbas dan pasukanya turut serta di medan pertempuran Surabaya. Bahkan,konon,saat Bung Tomo berkomunikasi dengan Syaikh Hasyim Asy`ari, ia tidak boleh memulai peperangan sebelum Kiai Abbas datang. Dan betul, akhirnya Kiai Abbas beserta santrinya datang dan turut serta maju ke medan pertempuran Surabaya yang dasyat itu.
Kiai Abbas wafatpada hari ahad setelah shubuh 1 Rabiul Awal 1365 atau 1946 dalam usia 67 tahun, dimakamkan di pemakaman Buntet Pesantren Cirebon.

8. KH Ma`sum Lasem
Ayam Jago dari Tanah Jawa
Setelah shalat Shubuh seorang maha guru semua ulama tanah Jawa yang termasyhur kealiman dan kewaliyaanya yaitu KH Ahmad Kholil Bangkalan Madura berkata kepada seluruh santrinya. “ Tolong buatkan saya kurungan ayam jago, sebentar lagi akan datang jago dari tanah Jawa.” Tak berapa lama datanglah seorang santri bernamaa Ma`sum dari tanah Jawa, lalu KH Kholil mengumumkan pada santrinya inilah jago dari Jawa, Ma`sum langsung dimasukan dalam kurungan ayam jago tersebut.
Lahir di Desa Soditan Lasem, pada tahun 1870. Kedua orang tuanya member nama Ma`sum kecil dengan nama Muhamadun. Ayah KH Ma`sum adalah H Ahmad dan Ibunya bernama Nyai Qasimah.
Ma`sum melawatkan masa belajar dari pesantren ke pesantren. Beberapa pesantren yang pernah disinggahinya adalah Pesantren Sarang Rembang yang dipimpin oleh seorang ulama terkemuka yaitu KH Umar Harun, pesantren di Semarang yang dipimpin oleh Kiai Ridwan,pesantren Bangkalan, Madura asuhan KH Kholil, pesantren Tebuireng Jombang yang diasuh oleh KH Hasyim Asy`ari, pesantren Kajen Pati asuhan Kiai Nawawi, pesantren Damaran Kudus asuhan KH Maksum. Selain itu ketika beliau pergi haji sempat belajar pada Syaikh Mahfudz Termas.
Semenjak lepas dari pesantren Muhamadun sudah menjadi KIai Musda yang terkenal kealimanya. Dan ketika masih di Tebuireng kepandaian dan kealiman Muhammadun sudah tercium oleh para santri dan rekanya, maka tak jarang para santri dan rekan sepesantrenya meminta Muhamadun untuk membacakan kitab-kitab seperti Al-Fiyah,Tasawuf, Fiqh dan lain-lain. Akan tetapi Muhamadun menolak dan lebih memilih untuk tidak mengajar tetapi memilih untuk berdagan saja, hari-hari Muhamadun pun dilalui dengan berdagan saja. Sampai pada sewaktu ketika Muhamadun bermimpi ada orang yang berkata supaya Muhammadun kembali pada umat dan mengayomi masyarakat dengan membuka pesantren.
Dari sinilah Muhamadun memulai membuka pesantren yang dinamakan Pesantren Al-Hidayah Lasem, ada kisah unik santri pertama Muhamadun adalah para anak Kiai tanah Jawa yang mendapat mimpi bahwa ada seorang alim dari Lasem yang suatu saat akan menelorkan banyak ulama, pada hari itu para ulama besar Jawa datang pada Ma`sum dan menitipkan anak-anak mereka agar dididik dan di ajarkan agama. Tetapi dengan kerendahan hati Ma`sum mencoba menolak,karena didesak akhirnya Ma`sum pun menerima. Ketika membangun pesantrenya Ma`sum selalu keliling kota Lasem untuk meminta sadaqoh dari para dermawan dan mengumumkan bahwa telah dibuka pesantren Al-Hidayah di Lasem.
KH Ma`sum mulai membuka pesantren pada thun 1916,dengan mendirikan sebuah mushalah munggil, empat tahun kemudian pada tahun 1920, mendirikan kamar-kamar kecil yang menjadi cikal bakal pesantren Al-Hidayah di Soditan Lasem, yang banyak menelurkan ulama besar kenamaan sebut saja seperti KH Ali Maksum (Krapyak Jogja), KH Mahrus Ali Lirboyo,KH Saifudin Zuhri (mantan Menteri Agama), KH Bisry Sansuri, KH Muslih Meranggan, KH Dimyati Banten dan lain-lain.
KH Ma`sum wafat pada hari Jum`at, tanggal 20 Oktober 1972 yang bertepatan dengan 12 Rhamadan 1392 H, Mbah Ma`sum menghadap kembali ke sisi Allah dalam usia 102 tahun, yang sebelumnya sempat menghadiri sahlat Jum`at terahir di masjid Lasem.

9. KH Subchi Parakan
Ahli Suwuk Bambu Runcing
Penuturan KH Saifudin Zuhri dalam bukunya Guruku Orang-orang dari Pesantren.
Pada suatu hari aku mengantarkan tiga tokoh yang sudah lama aku kenal,yaitu KH Wahid Hasyim,Zainul Arifin,dan KH Masykur untuk menjumpai Kiai Subchi. Ketika itu di rumahnya telah penuh berjubal para tamu,dan kota Parakanyang kecil menjadi tidak dapat lagi menampung banyaknya tamu.
KH Subchi dengan didampingi oleh KH Nawawi, dan KH Mandur pemimpin Sabilillah daerah Kedumeminta kami masuk ke kamar tidurnya.
“ Ya Allah, mengapa begini banyak jadinyaorang datang pada saya?” demikian Kiai Subchi memulai pembicaraan dengan air mata yang menggenag.
“Mereka memohon do`a kepada bapak !” KH Wahid Hasyim menyambut.
“ Ya, mengapa kepada saya?” beliau menangis dengan isaknya. Lama semua kami diam. Di luar terdengar gemuruh orang berduyun-duyun membanjiri halaman rumah Kiai Subchi.
“ Coba tengok di luar ! Mereka terus datang dan datang. Begini banyak orang membanjiri kemari tanpa henti, siang maupun malam. !” Kiai Subchi sambil memandang ke luar dari jendela kamar tidurnya.
“ Mereka memerlukan ketabahan hati dan tidak salah niat, karena itu mereka memohon do`a kepada bapak sebagai seorang ulama yang patut dimintai do`a dan berkahnya,” KH Wahid Hasyim menenangkan hatinya.
“ Tetapi, mengapa mesti kepada saya. Bukan kepada KH Dalhar, atau KH Siradj,atau KH Hasbullah?” Kiai Subchi seperti dalamkeadaan penasaran.
Zainul Arifin yang sejak tadi seperti sedang mengamati Kiai Subchi berusaha untuk membaca wajah ulama tua ini membisikkan padaku dengan katanya: “Alangkah ikhlasnya orang ini!”. Aku manggut saja.
Nama kecilnya Mohamad Benjing. Setelah berumah tangga nama itu diganti R Somowardojo,dan setelah naik haji diganti lagi menjadi Subchi. Lahiir di Parakan Kauman pada tahun 1850 M. Ayahnya bernama KH Harun Rasyid,adalah ulama terkemuka di daerah tersebut.
Ia pernah menempuh pendidikan di pesantren Sumolangu (Kebumen). Sejak lamaa wirid yang selalu diamalkanya adalah setiap malam membaca al-Qur`an 1 juz sehingga dalam 1 bulan 30 juz dan menghatamkanya. Dikenal sebagai petani yang rajin, shaleh,jujur,dan disegani. Ia selalu taat menjalankan syariat agamanya.
Atas fatwa KH Subchi dan keputusan musyawarah pengurus NU,serta barisan muslim Temanggung Parakan. Tanggal 25 Oktober 1945, tiap-tiap malam diadakan mujahadah. Bertempat di Langgar Wali,Kauman, Parakan. Diikuti 20 orang Kiai selam 10 hari. Siang hari puasa mutih dan malamnya shalat hajat, membaca wirid, membaca hizib-hizib, dan membaca shalawat nariyah sebanyak 4.444 kali dengan berjamaah.
Setelah melakukan mujahadah selama 10 hari, para kiai dilatih kemiliteran oleh Hizbullah setempat. Setelah itu ikut terjun ke medan perang bersama Hizbullah dan pasukan-pasukan yang lain. Dalam pelaksanaan mujahadah itu penasehat utamanya adalah KH Subchi.
Dikenal sebagai tokoh sentral perlawanan bamboo runcing Parakan. Namanya terkenal ke seluruh Indonesia. Ketika masyarakat Parakan mendirikan kelompok perlawanan bernam Barisan Bambu Runcing (BBR-kelak dilebur kedalam Barisan Muslim Temanggung BMT) pada Agustus 1945, dengan pimpinan KH Muhamad Sa`ban dan Sulaiman,Kiai Subchi bertindak sebagaai penasehat utama. Kelak BBR dan BMT itu akan menjelma menjadi pasukan Hizbullah Kompi XVIII Batalyon V Resimen III Divisi Sultan Agung.
Di masa perang kemerdekaan itu masyarakat dari berbagai penjuru daerah berbondong-bondong datang ke Parakan untuk minta berkah dari para ulama di sana, khususnya Kiai Subchi. Tak kurang dari 1000 orang setiap hari memadati setiap jengkal tanah Parakan untuk mencari berkah Kiai. Mereka datang sambil membawa bambu runcing untuk disuwuk(disepuh,diberi do`a) dibagian ujungnya. Lebih dari itu mereka minta air berani (untuk menambah keberanian) dan nasi manis untuk menambaha kekuatan fisik. Saking banyak orang yang ingin mengambil berkah maka Parakan selalu disesaki oleh para tamu yang datang.
Dalam setiap pengembelengan itu biasanya dilakukan oleh para kiai dan pejuang lain yang sudah direstui oleh Kiai Subchi. Suwuk bamboo runcing biasanya dilakukan oleh KH Sumogunardho,air berani diberikan oleh KH Muhamad Ali,dan nasi manis diberikan oleh KH Abdurahman. Namun khusus untuk wejangan batin, selalu dilakukan langsung oleh KH Subchi. Sebelum member wejangan biasanya KH Subchi selalu mengajak seluruhya untuk baca istigfar dan dua kaliamah sahadat. Setelah itu baru memberikan wejanganya. Daiantaraa wejanganya adalah :
“ Tentara Belanda akan kembali menjajah Negara dan bagsa kita Indonesia lagi. Akan datang di daerah kita, dan akan memaksa supaya menyerah pada Belanda. Tetapi, hai pemuda dan rakyat. Janganlah takut kepada Belanda ! kita berjuang melawan Belanda dengan bamboo runcing yang diberi do`a. insyaallah Belanda takut dan akan pergidari bumi Indonesia !maka kita harus ingat mati dan hidup itu ditangan Allah,kita mohon pertolongan. Dengan Tuhan Allah kita mohon perlindungan.
Saking terkenalnya Kiai subchi, hingga banyak tokoh nasional yang dataang kepadanya untukminta berkah. Di antaranya adalah,Jendral Sudirman, Ruslan Abdul Ghani (tokoh perang 10 November Surabaya),Mohamad Roem, KH Masykur,KH Wahid Hasyim,KH Saifudin Zuhri,Mr Wongsonegoro (Gubernur Jawa Tengah),dan lain-lain.
Kiai Subchi terkenal sebagai orang kaya di Parakan. Tanahnya ada di mana-mana, terlebih di sekitar Kauman. Namun ia sangat dermawan. Jiwa sosialnya tinggi. Di usia tuanya,tanah-tanah itu diberikan kepada penduduk sekitar yang tidak mampu. Tak terhitung banyaknya.
Kiai Subchi wafat pada hari Kamis Legi, 6 April 1959 dalam usia 101 tahun. Di makamkan di Sekuncen desa Parakan Kauman, Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tenggah.

10. KH Yasin Yusuf
Orator Khas, Pejuang dari Balik Layar
Empat orang di tempat persembunyian telah menarik busur panahnya kuat-kuat. Mata anak panah yang lancip dan beracun itu mengarah kea rah KH Yasin Yusuf yang sedang berpidato di tengah pengajian umum. Ibrahim, pendamping setia Kiai Yasin, yang melihat ancaman bahaya itu tidak bisa berbuat apa-apa, sebab sudah dipesan sebelumnya oleh Kiai Yasin untuk bersabar dan tawakal. Detak jantung Ibrahim nyaris berhenti karena khawatir kesalamatan teman dan gurunya itu yang berada di ujung tanduk. Di tengah hati yang penuh kegundahan itu, ia terus berdo`a agar gurunya diberikan kesalamatan. Setidaknya untuk malam itu.
Tiba-tiba saja sebuah keanehan terjadi. Meski telah lama menarik “pelatuk” panah, namun keempat orang itu tidak ada yang melepaskanya. Tapi juga tidak ada yang membatalkan. Mereka tetap saja menarika anak panah kuat-kuat sambil berdiri mematung seperti semula, sampai Kiai Yasin turun panggung dan mendekati mereka. Setelah disentuh tanggan Kiai Yasin,barulah mereka sadar dan ketakutan.
Di depan Kiai Yasin mereka mengaku sebagai anggota PKI yang bertugas mengeksekusi Kiai Yasin. Namun setelah mengalami peristiwa menjadi patung yang luar biasa itu, mereka langsung bertobat dan mengucapkan kalimat SAyahadat di depan Kiai Yasin dan para jama`ah. Sejak itumereka ganti aktif di Gerakan Pemuda Anshor dan rajin menjaga keselamatan Kiai-kiai.
Lahir di Kademangan, Blitar tahun 1934, ayahnya H Yusuf dikenal sebagi orang kaya dan dermawan.
Masa belajar Kiai Yasin tergolong cukup singkat. Semasa kecil ia belajar di Madrasah Ibtidaiyah Nahdlatul Ulama (MINU), Blitar. Tamat tahun 1953. Meneruskan belajar agama di pesantren Kiai Zahid Dawuhan. Selebihnya banyak didapatkan dari belajar secara otododak. Sejak tahun 1953 menjadi guru MI Kademangan. Sejakbulan Rajab 1953 ia pertama kali ceramah naik panggung. Setahu kemudian menjadi guru agama di Ledoyo dikenal sebagai daerah merah yang menjadi basis orang-orang komunis.
Sejak remaja sudah dikenal pandai berpidato. Gayanya khas, ia bisa menirukan bermacam-macaam suara binatang, pesawat terbang, tembakan meriam, bom meledak dan sebagainya. Ia juga sering menirukan suara Bung Karno ketika membaca teks proklamasi, atau suara Bung Tomo ketika mengumandangkan gema takbir perang 10 November 1945. Suaranya persis. Ketika itu belum ada mubaligh yang mempunyai kreasi seperti dia.
Meski tidak masuk jajaran struktur NU, namun ia tetap berjuang untuk NU dengan caranya sendiri. Ia juga dikenal dermawan untuk perjuangan NU dan dakwah Islam dan memiliki solidaritas yang tinggi terhadap kawan-kawanya ketika pandu Anshor mulai terdengar di daerah Blitar (1954), Kiai Yasin langsung menemui Ibrahim,karibnya. Ia meminta agar Romadlon mendirikan cabang Anshor di daerah Demangan,Blitar yang menjadi kampung mereka berdua.
Banyak kisah misteri menyelimuti perjalanan Kiai Yasin. Di antaranya, bila mikropon(pengeras suara) di depanya terkena sabotase orang PKI, lalu rusak, biasanya ia langsung melepaskan sepatunya untuk dipakai sebagai mik. Ternyata bisa berfungsi dengan baik seperti mikropon sungguhan. Suaranya juga menggema.
Kisah lain,ketika nyawanya diancam orang,ia tidak mengadakan perlawanan. Namun anehnya, seringkali pengancam itu, malah mematung, semua gerakanya terkunci. Tidak bisa bergerak, tapi tetap dalam kondisi sadar. Kuncian itu baru bisa lepas kalau sudah disentuh Kiai Yasin.
Pidatonya yang khas, diselingi seni pendalangan dan didukung oleh kemampuan menirukan berbagai macam suara, menjadikan dirinya banyak keliling plosok Jawa. Sebagian diantaranya adalah Sumatra dan Kalimantan, dan setiap bulan Rabiul Awal ia selalu diminta untuk memberikan ceramah Maulid di Istana Negara.
Kiai Yasin Wafat pada 6 Juli 1992 dimakamkan di Desa Tambak, Ngadi, Kecamatan Mojo,Kabupaten Kediri. Makam itu dikenal sebagai makam Auliya`.

11. KH Dimyati (Abuya Dimyati)
Penjaga Al-Qur`an dari Banten
Suatu ketika Abuya Dimyati mengumumkan kepada seluruh santrinya dan masyarakat Banten bahwa beliau akan membaca dan membahas secara mendalam kitab tafsir At-Thabari karya Imam Muhibut At-Thabari, berita itu langsung tersebar cepat keseluruh plosok Banten. Kitab berjilid-jilid ini adalah kitab yang langsung dipesan dari percetakan di Saudi Arabia, dan sebagian ulama Tanah Hijaz seakan tidak percaya kalau masih ada ulama Jawa yang mengkaji kitab ini, karena kitab tersebut adalah induk dari segala tafsir dan hanya orang yang maha alim lah yang mampu membaca dan mengkaji secara mendalam kitab tersebut.
KH Dimyati atau Abuya Dimyati, lahir pada tahun 1925 M, di Desa Cadasari, Pandeglang, Banten Jawa Barat. Ayahnya bernama KH Muhamad Amin, salah seorang ulama terkenal di Tanah Banten.
Pendidikan awal Abuya Dimyati langsung dari ayahnya,beliau belajar berbagai cabang ilmu agama diantaranya adalah Ilmu Nahwu, Sharaf, Blaghah, Fiqh, Tauhid, dan lain-lain. Setelah belajar kepada ayahnya abuya Dimyati, melanjutkan belajar kepada ulama-ulama tanah Banten yaitu Syaikh Abdul Halim Kalahan ulama sepuh dan ahli thariqoh Banten.
Setelah menuntaskan belajar di Banten, maka Abuya Dimyati Ngambah (meneruskan belajarnya),keluar Banten dengan ilmu yang sudah mumpuni, diantara guru-guru beliau adalah Mama Sempur (Purwakarta), Mbah Ma`sum dan Kiai Baidlawi (Lasem),Mbah Hamid,dan Mbah Dalhar.
Para Kiai yang menjadi para guru-guru beliau selalu memuji kealiaman abuya Dimyati, bahkan Mbah Ma`sum sebagai guru beliau berkata “ Perbendaharaan ilmu,dari lasem telah habis diboyong oleh santri asal Banten.” Mbah Ma`sum sangat mengakui kealiman yang dimiliki oleh Abuya Dimyati dan beliau adalah salah satu santri andalan Mbah Ma`sum.
Ketika Abuya nyantri pada Mbah Dalhar di Watucongol, Abuya Dimyati memperdalam ilmu-ilmu agama, beliau juga menghatamkan al-Qur`an dengan bil Ghaib (menghafal), karena kecerdasan beliau, Abuya Dimyati dapat menyelesaikan hafalanya dalam waktu enam bulan.
Ketika Abuya pamit kepada Mbah Dalhar, setelah belajar lama pada beliau, Mbah Dalhar memerintahkan Abuya Dimyati untuk pergi mengunjungi KH Nawawi, Wonokromo, Jogja. Ternyata di sana Abuya dites kealimanya oleh KH Nawawi, karena kagum akan kealimanya KH Nawawi lalu memberikan putrinya untuk dijadikan istri Abuya.
Abuya Dimyati terkenal sebagai ulama yang Rasikhah,zuhud, dan teguh dalam memegang prinsip. Hari-hari Abuya Dimyati selalu dilalu dengan ngaji dan,waktu-waktu Abuya pun dihabiskan untuk mengaji dan mengaji.
Abuya Dimyati selalu memberi tekanan kepada para santri-santrinya bahwa jangan sampai meninggalkan ngaji,dalam keadaan apapun baik dalam keadaan susah ataupun sedang dalam keadaan senang. Dan ini selalu dipraktekan langsung oleh Abuya bahkan Abuya selalu menghatamkan Al-Qur`an dalam satu hari yang dijadikan sebagai wiridanya selama bertahun-tahun.
Abuya Dimyati sangat konsisten dalam menjalankan ajaran agamanya, terutama dalam masalah mengaji dan shalat berjama`ah. Abuya Dimyati dalam mendidik santri dan para putranya selalu tegas, sebagaai contoh Abuya tidak akan memulai shalat jama`ah sebelum para putra dan putrinya hadir dan ikut shalat berjama`ah, begitu pula dengan masalah mengaji, Abuya sangat tegas dalam masalah ini kalau ada santri yang kedapatan tidak mengaji tanpa ujur sar`I yang jelas maka siap-siaplah santri tersebut untuk dipulangkan dengan tidak hormat, bahkan dengan tegas Abuya Dimyati selalu mengatakan pada para santrinya “ Thariqoh Aing mah Ngaji” (Thariqoh saya mah mengaji).
Pada saat sebelum pernikahan anaknya H Murtado, setelah melaksanakan acara pembacaan Maulid sekitar pukul 03.00, tepat pada tanggal 03 Oktober 2003 M atau 07 Sya`ban 1424 H Abuya Dimyati wafat dalam usia 78 tahun, pada saat putranya melaksanakan akad nikah Abuya Dimyati kembali menghadap Allah SWT.

12. KH Abdul Ghani (Guru Ijai)
Ulama Kharismatik, Kalimantan Selatan
Pada usia 10 tahun ia bermimpi melihat sebuah kapal besar turun dari langit. Sdi depan pintu masuk kapal itu berdiri seorang penjaga berjubah putih. Tulisan Safinatul Auliya tampak jelas terpampang di pintu yang di jaga itu. Ketika dirinya hendak masuk kedalam kapal, serta merta dihalau oleh sang penjaga hingga tersungkur.
Pada malam berikutnya mimpi itu datang lagi. Begitu pula pada malam ketiga. Hanya saja pada malam ketiga ia diperbolehkan masuk dan disambut oleh seorang Syaikh. Ia melihat di dalam kapal banyak kursi kosong.
Berpuluh tahun kemudian, setelah ia dewasa dan pergi ke tanah Jawa untuk menuntut ilmu, peristiwa aneh terjadi kembali. Tanpa diduga sebelumnya, orang yang pertama kali menyambut dan menjadi gurunya adalah orang yang menyambutnya di kapaldalam mimpi itu.
Lahir pada 27 Muharram 1361 H/ 11 Februari 1942 di Kampung Tanggul Irang Seberang Martapura, Kalimantan Selatan. Nama kecilnya adalah Qusayri.
Sejak kecil langsung belajar pada ayahnyayang juga merupakan Kiai ternama. Mengaji Al-Qur`an kepada Guru Muhamad Hasan Parayangan. Masuk madrasah Martapura selama dua tahun, kemudian melanjutkan ke Madrasah Darussalam Martapura sampaia tamat.
Ia belajar tasawuf dari Saikh Saman Mulya,yang tak lain adalah pamannya sendiri. Mendalami ilmu tafsir,dan hadis kepada Guru Sa`rani Arif. Dalam usia 10 tahun telah dikaruniai Kassaf Hissi (mampu mendengar dan melihat yang terhalang oleh dinding).
Guru Ijai,begitu biasanya orang memanggilnya, dikenal sebagai orang yang alim, wirai dan zahid. Kalimatnya santun dan tabiatnya tenag mententramkan. Ia seorang hafidzul Qur`ansekaligus mursyid thariqot. Berkat kearifanya,ia mampu memadukan syariat,thariqat,dan hakekat. Dialah satu-satunya ulama di Indonesia yang mendapatkan lisensi untuk mengijazahkan thariqah As-Samaniyah di Indonesia. Selain alim dari sisi keilmuan, ia juga terkenal banyak memiliki kramat.
Pada suatu musim kemarau yang panjang, ketika sumur-sumur penduduk sudah kering,masyarakat merasa cemas. Mereka sangat meras cemas, dan berharap untuk segera turun hujan. Melihat kesengsaraan masyarakat yang seperti itu seorang tokoh masyarakat meminta pada Guru Ijai untuk didoakan.
Guru Ijai segera keluar mendekati pohon pisang yang berada didekat rumahnya. Ia goyang-goyangkan pohon itu. Tidak lama kemudian hujan pun turun dengan lebatnya.
Meskipun dikenal sebagai mursyid thariqot dan akrab dengan dunia karamah, namun ia tidak larut dengan semua itu. Justru ia berpesan agar kaum muslimin tidak tertipu dengan karamah itu. Karena pada dasarnya karamah adalah anugrah dari Allah kepada hambanya. Bukan karena kepandaian dan keahlian. Karena itu juga jangan sekali-kali mengharap mendapatkan karamah dengan melakukan ibadah atau dengan wirid-wirid tertentu, karena karamah yang amat mulia dan tinngi disisi Allah adalah Istiqamah di dalam beribadah. Begitu pesan yang sering di sampaikan pada para muridnya.
Selain dalam dunia thariqah dan pendidikan, Guru Ijai juga memiliki kemampuan dakwah dengan tulisan. Setidaknya ada empat karya beliasu yang sempat di temukan antara lain: Risalah Mubarakah,Manaqib Syaikh Sayid Muhamad bin Abdul Karim-Al-Qadiri-Al-Hasani as-Samman Al-Madani, Ar-Risalatun An-Nuriyah fi Syarhit Tawasulatis Sammaniyah, dan Nubdzatun min Manaqibil Imamil Mashur bin Ustadzil A`dlam Muhamad bin Ali Ba`alawy.
Guru Ijai wafat pada hari rabu 5 Rajab 1426 H/ 10 Agustus 2005 M. Dimakamkan di Komplek Ar-Raudah Sekumpul Martapura, di samping makam Syaikh Seman Mulya.

13. Prof.Dr.KH Said Aqiel Siradj MA
Mutiara dari Bumi Cirebon
Suatu ketika ia mendapat telepon dari Polda Metro Jaya. Ia diminta datang ke Polda untuk berdialog tentang agama dengan Ahmad Musaddeq yang mengaku sebagi seorang Nabi. Permintaan itu langsung diiyakan.
Didampingi Agus Miftah (ahli jaringan Yahudi), Dr Bahtiar Ali (pakar komunikasi), serta wakil dari MUI, Kejaksaan Agung dan dari Kepolisian, Kang Said berdialog bebas dengan Musaddeq. Sementara yang lain hanya melihat prosesi berjalannya dialog. Sampai akhirnya meeka menjadi saksi atas kehebatan tokoh asal Cirebon itu.
Mula-mula Musaddeq dipersilahkan untuk menjelaskan asal-usul dari dan perjalanan spiritualnya hingga bisa memproklamirkan diri menjadi seorang nabi. Musaddeq menceritakan secara runtut perjalanan spiritualnya, termasuk adanya bisikan di Arofah yang mengangkat dirinya sebagai nabi. Tak lupa ia membaca ayat-ayat al-Qur`an untuk memperkuat kemungkinan masih adanya nabi terakhir,yang tak lain adalah dirinya.
Ia juga menjelaskan ajaran yang dibawa olehnyatentang shalat yang tidak harus dilakukan sehari lima kali, tetapi cukup satu kali di tengah malam, lalu dilanjutkan dengan merenung. Juga puasa sebulan Ramadan yang bisa diganti dengan Senin-Kamis.
Ketika Kang Said diberikan kesempatan bicara, ia menanggapi pengalaman spiritual Musaddeq itu dari sisi Tauhid dan Tasawuf. Termasuk adanya tingkatan wahm (halusinasi), ilmu yaqin,ainul yaqin,haqqul yaqin,wahyu,dan lain sebagainya. Aneh, Musaddeq yang mengaku seorang nabi itu malah tidak nyambung dengan bahasa itu. Ia tampak terkagum-kagum dengan uraian Kang Said. “ Baru kali ini saya mendapatkan penjelasan seperti ini,” Musaddeq mengakui kedalaman ilmu lawan bicaranya. Setelah melalu dialoq bebas selama 3 jam, tampaknya secercah cahaya hidayah telah membuka pintu hati Musaddeq. Ia meminta waktu tiga hari untuk merenungi langkah yang telah ditempuh dan diyakininya dan telah mendapatkan puluhan ribu pengikut itu. Sampai akhirnya setelah waktunya tiba, ia menyatakan tobat dan kembali ke jalan yang benar. “ Alhamdulillah, do`a saya diterima untuk bertemu ulama, tempat saya diskusi. Sekarang saya sadar kalau langkah saya selama ini salah,” aku Musaddeq. Di sisi lain, Kang Said juga mengakui kehebatan Musaddeq. “ Dia memang hebat. Paham dengan asbabun nuzul al-Qur`an dan asbabul wurud al-Hadits. Hanya saja ada sedikit yang kurang pas, dia mengaku nabi, itu saja,” jelas Kang Said.
Lahir di Cirebon pada 3 Juli 1953. Ayahnya, KH Aqil Siradj, adalah pengasuh Pesantren Kempek, Cirebon. Sedangkan kakenya, KH Siradj bin Said, adalah pengasuh Pesantren Gedongan Sindanglaut, Cirebon. Said tergolong keturunan darah biru kiai dan bangsawan. Ayahnya masih saudara misan dengan KH Mahrus Aly Lirboyo,Kediri. Keduanya merupakan keturunan Sunan Gunang Jati.
Menamatkan pendidikan dasar di kampung halamanyadengan masuk SR Gempol,merangkap mesantren di Kempek, Cirebon. Pindah ke Pesantren Lirboyo asuhan KH Mahrus Aly, sambil melanjutkan ke Madrasah Hidayatul Mubtadi`in Lirboyo (1968-1970). Saat berangkat ke Lirboyo sudah menamatkan kitab Alfiyah di kampung halamnya. Tidak heran kalau selama di Lirboyo ia dikenal mahir ilmu alat, bahkan salah satu yang terbaik pada masa itu.
Pindah ke Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Jogja asuhan KH Ali Maksum (1972-1975), sambil kuliah di Fakultas Adab IAIN Sunan Kali Jaga. Namun tidak sampai tamat, karena ia malas-malasan masuk kampus. Karena hampir semua mata kuliah yang ada dinilai telah mengulang semasa di Pesantren.
Pada 28 Desember 1979 ia melanjutkan ke Fakultas Syariah Universitas King Abdul Aziz cabang Makka, lulus tahun 1982 dengan predikat Caumlaude. Masuk PPS Ummul Qura` Fakultas Usuluddin, lulus tahun 1987 dengan predikat Jayyid Jiddan. Melanjutkan keprogram doctor di kampus yang sama mengambil jurusan Usuludin, lulus tahun 1994 dengan predikat Caumlaude.
Di sinilah terlihat betapa cerdasnya seorang Said. Hingga saat itu baru hanyadua orang Indonesia yang berhasil meraih peringkat Caumlaude program doctor di Ummul Qura`. Seorang lainya bernama Satria Efendi yang saat ini sudah meniggal dunia.
Selama 13 tqhun menetap di Saudi Arabia, ia telah dua kali meraih peringkat Caumlaude, selama S1 di Universitas King Abdul Aziz dan S3 di Ummul Qura`. Sekali meraih peringkat Jayyid Jiddan selama menempuh pendidikan S2 di Ummul Qura`.
Semasa kuliah di IAIN Jogja ia menjadi sekertaris PMII Rayon Krapyak (1972-1974). Ketika kuliah di Saudi Arabia, ia menjadi ketua keluarga mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU) Makkah (1983-1987). Sepulang dari tanah suci langsung menjadi wakil katib syuriah PBNU hasil muktamar Cipasung (1994-1998). Tak lama kemudian naik menjadi Katib Am PBNU (1998-1999).
Hasil Muktamar ke-30 di Lirboyo menempatkan dirinya menjadi salah seorang Rois Syuriah PBNU(1999-2004) dan setelah Muktamar ke-31 di Donohudan Solo menjadi salah satu ketua PBNU mendampingi KH Hasyim Muzadi, dan pada tahun 2010 hasil Muktamar di Makasar beliau terpilih sebagi ketua umum PBNU.
Dikenal sebagai pendidik dan nara sumber seminar yang berbobot. Pemikiranya cemerlang dan lintas batas. Ia juga banyak bergaul dengan banyak komunitas diluar NU dan Islam. Karena pergaulanya yang luas dan pemikiranyan yang sedikit berbeda itu, seringkali memunculkan sikap controversial di tengah masyarakat.
Ia juga sering menjadi narasumber seminar di tengah umat lain. Semisal sarasehan Paroki Santa Ana, Bamus antar Gereja, Vihara Darma Mitra,Konfrensi GKD,GKRI,YMPI,JRC,APOSTOLOS,KOS,YMBI,CLR,UKI Atmaja,bahkan pernah berkhutbah di tengah komunitas Kristiani Di Gereja Aloysius Gonzaga Surabaya pada tahun 1998, sebuah perjalanan tokoh Islam yang belum pernah oleh orang lain sebelumnya.
Hingga kini kesibukan Kang Said lebih banyak dihabiskan di dunia pendidikan dengan menjadi dosen dibeberpa perguruan tinggi. Di antarnya Pascasarjana UI,Pacasarjana UIN Jakarta, Pascasarjana UNISMA Malang, Pascasarjana UNU Solo dan lain sebagainya.
Selain menjadi narasumber seminar nasional dan internasional Kang Said juga rajin menulis. Beberapa buku telah berhasil ia selesaikan. Karena rajin membaca dan menulis tak heran kalau dalam pengajian ia seringkali bisa menyebutkan 32 mata rantai keilmuan para ulama yang terus menyambung hingga Rasullah SAW.

14. Nyai. Hj. Mahmudah Mawardi
Pendidik, Politisi Tahan Banting
“ Kini kita telah memasuki usia Muslimat yang ke-26. Di belakang kita telah kita tinggalkan sejarah, yang Insaallah telah kita penuhi dengan perjuangan dan pengabdian, betapun kecilnya arti perjuangan dan pengabdian itu bagi agama,bangsa, dan partai. Namun dihadapan kita kini terbentang suatu arena perjuangan baru yang harus kita lalui. Arena itu bukan suatu jalan yang lurus dan datar,melainkan penuh dengan hambatan dan halangan,laksana menghadang bahtera perjuangan kita. Kita mesti menempuharena perjuanga itu, oleh karena itulah satu-satunya jalan, yang di balik medan itu terletak harapan-harapan akan hasil cita-cita perjuangan yang kita dambakan. Tiada jalan menyilang, dan lebih-lebih tidak ada jalan untuk mundur kembali.”
Lahir di Sala,12 Februari 1912. Ayahnya KH Masjud,adalah pendiri Pesantren Al- Masjudiyah,Keprabon, Sala. Sedangkan suaminya, A.Mawardi,adalah tokoh pergerakan PSII Sala yang disegani. Mawardi inilah yang mengenalkan dunia pergerakan nasional kepadanya,sebelum wafat pada 1943. Sejak itu perjalanan panjang berkarier,berjuang, dan membesarkan anak-anak dijalani dengan single fighter. Tetapi semuanya berhasil dengan sangat mengagumkan.
Sejak kecil belajar pada orang tuanyadi Pesantren Al-Masjudiyah Sala. Menamatkan Madarasah Suniyah Ibtidaiyah, Sala,6 tahun (1923). Tamat Madrasah Suniyah Tsanawiyah 3 tahun (1926). Kursus-kursus keguruan. Setelah itu melanjutkan pendidikanya di Pesantren Jamsaren, di bawah asuhan KH Mohamad Idris. Di angkat sebagai guru di almamaternya, tahun (1930). Ketua pendiri organisasi NDM(Nahdlatul Moeslimat) Surakarta(April 1931), sampai akhirnya bisa membuka cabang di mana-mana. Menjadi kepala sekolah Madrasah Muallimat NDM Kauman, Sala (1933-1945). Tahun 1954, setelah ayahnya wafat ia mengantikan ayahnya sebagai pengasuh pesantren yang mengasuh setidaknya 150 santri putri.
Dalam masa perang kemerdekaan, ia aktif membantu perjuangan bangsa Indonesia melalui barisan Hizbullah di Surakarta(1945-1947). Berada digaris belakang dengan tugas utamanya membuka dapur umum, mengumpulkan obat-obatan,lauk-pauk, dan menjadi kurir. Kelak, ia diakui sebagai veteran perang kemerdekaan, yang tanda penghargaanya ditanda tangani Menteri Veteran Perang Kemerdekaan RI, H Sarbini. Ia juga mendapat penghargaan Bintang Geriliya dari Pemerintah.
Ketua Pimpinan Cabang Muslimat Surakarta, ketua Organisasi Federasi Wanita Islam di Sala (1946). Pada tahun 1950,ketiak diselengarakan kongres NU di Jakarta,ia terpilih sebagai Ketua Umum Pucuk Pimpinan Muslimat NU. Karena kuatnya latar belakang pendidikan dan perjuangan yang dimiliki,ia memimpin PP Muslimat selama delapan periode(1950-1979). Setelah itu ia menjadi penasehat PP Muslimat (1979-1987). Tahun 1952 duduk sebagai anggota Liga Muslim Indonesia.
Dikenal sebagai politisi “wanita besi” beriliandari NU. Tak kurang dari 35 tahun aktif sebagai Srikandi Politik yang disegani. Dimulai tahun 1946 dengan menjadi anggota DPRD Kota Besar Surakarta dari golongan wanita. Pada saat yangsama duduk sebagai anggota BP KNIP mewakili Masyumi. Pada masa pemerintahaan Republik Indonesia Serikat,ia duduk sebagai anggota DPR RIS yang berkedudukan di Jogjakarta(1949). Anggota DPR RI terpilih (1956-1971). Anggota DPR / MPR RI mewakili NU dan PPP (1971-1977). Anggota MPR RI dari PPP (1977-1982).
Tahun 1950 sebagai Ketua Badan Kordinasi Gabungan Organisasi Wanita Surakarta. Anggota Pengurus Besar Front Pancasila, dengan Ketua Presidiumnya Subchan ZE. Anggota Presidium Kowani dari unsure Muslimat NU(1962-1967). Pada saat digelar Konfrensi Asia Afrika (1965) ia dipercaya duduk sebagai salah seorang delegasi Indonesia dalam KIAA di Bandung.
Nyai Mahmudah Mawardi wafat pada hari Rabu, 18 November 1987 di Keperabon Wetan, Sala,dalam usia 78 tahun. Di makamkan di Astana Pulo, Laweyan, Sala. Di antara “warisan” yang ditinggalkanya adalah Drs HA Chalid Mawardi (Mantan Dubes luar biasa dan RI Berkuasa Penuh untuk Republik Syiria dan Lebanon) dan Latifah Hasyim.

15. KH Dalhar (Mbah Dalhar)
Waliyullah, Sesepuh Thariqoh
Ketika Pesantren Darussalam ditempati Muktamar NU ke-14, Mbah Dalhar diminta memberikan sambutan atas nama tuan rumah. Oleh karena diminta oleh para Kiai,ia tidak berkeberatan. Tapi aneh, ketika sudah di atas panggung dan menghadap mik, tidak banyak kalimat yang disampaikan. Setelah mengucap salam seperti lazimnya sambutan, disusul dengan ,”Poro rawuh sami wilujeng?” lalu langsung ditutup dengan salam. Selesai,lalu turun. Tidak lazim memang. Banyak orang penasaran karenanya.
KH Ali Maksum mengartikan kalimat “wilujeng” yang disampaikan Mbah Dalhar itu ternyata memiliki banyak makna. Di antaranya ucapan selamat,semoga acara itu sukses, apa yang digagas NU adalah sesuai dengan apa yang diwariskan para ulama pendahulu,dan sebagainya. Satu kata memiliki banyak makna.
KH Dalhar lahir di Watucongol,Muntilan,Magelang pada 1841. Ayahnya, KH Abdurahman, adalah pengasuh kedua Pesantren Darusalam Watucongol,yang didirikan pada 1820 oleh KH Abdurrauf. Dengan demikian Mbah Dalhar merupakan pengasuh ketiga pesantren legendaries itu.
Selain belajar langsung pada orang tuanya di Pesantren Darussalam,Mbah Dalhar juga pernah belajar di Pesantren Al-Kahfi Sumolungu, Kebumen,asuhan Syaikh Abdul Kahfi Tsani. Di pesantren tersebut dia belajar selama 3 tahun. Melanjutkan ke Tremas, Pacitan di bawah asuhan Syaikh Mahfudz At-Turmusi. Di pesantren itu Mbah Dalhar menyerap ilmu selama 7 tahun. Melanjutkan ke Ringinagung, Kediri asuhan KH Nawawi, selam tiga tahun. Setelah itu melanjutka ke Makkah. Di sinilah terlihat keanehan Mbah Dalhar. Selam 27 tahun menetap di tanah suci, hanya sekali ia meninggalkan shalat berjamaah.
Sekitar tahun 1916 ia kembali dari peraturan menuntut ilmu dan langsung mengasuh pesantren yang didirikan kakenya. Semua bidang ilmu dikuasainya, namun lebih menonjol sisi Tasawufnya. Ia mempunyai kharisma yang tinggi di mata para kiai dan umatny.
Mbah Dalhar dikenal sebagai waliyullah yang banyak dikeramatkan orang. Selain sebagai seorang putra kiai,perjalanan hidupnya juga selalu bersama dengan para kiai besar. Di antara teman akrabnya adalah KH Asnawi Kudus, KH Hasyim Asy`ari Jombang, KH Zainudin Mojosari,KH Baidowi Lasem, KH Wahab Hasbullah Jombang, KH Siraj Payaman, KH Mandur Temanggung, dan lain-lain.
pada tahun 1939, pesantren Darussalam ditempati Muktamar NU ke-14. Meski selalu aktif dalam perjuangan NU,namun tidak pernah menjadi pengurus NU. Ia lebih banyak aktifdi dunia Thariqoh dengan menjadi satu-satunya Mursyid Thariqoh Syadziliyah di Indonesia.
Banyak muridnya yang menjadi kiai besar dan aktif dalam perjuangan. Diantaranya Kiai Dimyati Banten,KH Mahrus Ali Lirboyo, KH Abbas Buntet, Gus Dim,Gus Miek, Ploso dan lain-lain.
Mbah Dalhar wafat pada hari Rabu tanggal 25 Rhamadan, 1959 dalam usia 118 tahun. Dimakamkan di makam Gunungpring, sekitar 500 dari pesantren. Konon, pemakaman itu atas permintaan dari Mbah Raden Santri yang meniggal terlebih dahulu dan dimakamkan di tempat tersebut bersama Sembilan auliya`illah lainya.
Kini makamnya dikeramatka banyak orangdan hampir tidak pernah sepi dari peziarah. Bila waktu haul tiba,masyarakat tumpah ruah menyambutnya. Mereka datang dari berbagai daerah di seluruh pulau Jawa untuk mengenang tokoh besar Mbah Dalhar yang mereka kagumi.

16. KH Mustafa Bisri (Gus Mus)
Budayawan, Penulis, Pelukis
Di negeri amplop Aladin menyembunyikan Lampu wasiatnya. Malu Samson tersipu-sipu Rambut keramatnya ditutupi topi. Rapi-rapi. David Copervild dan Haudini bersembunyi. Rendah diri (Entah apabila Nabi Musa bersedia datang membawa tongkatnya) Amplop-amplop di negeri amplop Mengatur dengan teratur.
Hal-hal yang tidak teratur menjadi teratur. Hal-hal yang teratur menjadi tidak teratur. Memutuskan putusan yang tak terputus. Membatalkan putusan yang sudah putus. Amplop-ampop menguasai penguasa dan mengendalikan orang-orang biasa.
Amplop-amplop membeberkan dan menyembunyikan, mencairkan dan membekukan, mengganjal dan melicinkan, orang bicara bisa bisu,orang mendengar bisa tuli, orang alim bisa nafsu, orang sakit bisa mati, di negeri amplop. Amplop-amplop mengamplopi siapa saja dan apa saja.
Lahir di Kampung Leteh,Rembang,Jawa Tengah pada 10 Agustus 1944. Putra kedua KH Bisri Mustofa, pengasuh Pesantren Raudatu At- Thalibin, Rembang yang terkenal sebagai orator dan penulis buku. Kakenya KH Cholil Harun,adalah ulama terkenal pada saat itu.
Semasa kecil belajar pada ayahnya di Pesantrenya,pagi sekolah di SR dan sore sekolah Diniyah Nawawiyah Rembang. Tahun 1957 meneruskan pendidikan di Pesantren Lirboyo di bawah asuhan KH Mahrus Ali. Dua tahun kemudian pindah ke Pesantren Al-Munawwir di Jogja Di bawah asuhan KH Ali Maksum. Sejak tahun 1964 menempuh kuliah di Universitas Al-Azhar,Cairo, Mesir jurusan studi keislaman dan Bahsa Arab, hingga tamat tahun 1970. Saat di Mesir ia satu angkatan dan berkawan akrab dengan Gus Dur yang kelak menjadi Presiden Indonesia.
KH Mustafa Bisri,dikenal sebagai salah satu deklarator dari Partai Kebangkitan Bangsa,diantara para deklarator tersebut adalah KH Abdurahman wahid, KH Munasir Ali, KH Ilyas Rukyat, KH Muchit Muzadi. Meskipun ia tidak hadir akan tetapi ikut tanda tangan deklarasi itu.
Gus Mus pernah menjadi anggota DPRD Jawa Tengah mewakili PPP pada tahun (1982-1992) dan anggota MPR RI (1992-1997). Namun beliau menolak untuk dicalonkan yang kedua kalinya dari kedua lembag tersebut. Bahkan ketika namanya sudah ditetapkan sebagai anggota DPD dari Jawa Tengah,ia lebih memilih untuk mengundurkan diri.
Alasan yang dikemukakan ia adalah ,karena ia merasa bukan orang yang tepat untuk duduk di bidang tersebut. Dalam pandangan Gus Mus, selama menjadi wakil rakyat, apa yang diberikan kepada rakyat tidak sebanding dengan apa yang dia dapat dari rakyat. Karena sering terjadi perang dalam hatinya, ia memilih untuk tidak terjun lagi ke dalam kancah politik, meski sebenarnya peluang itu masih terbuka lebar.
Hatinya terasa panas ketika melihat ulah iseng kakaknya, KH Cholil Bisri. Setiap kali tulisanya dimuat di Koran local, KH Chollil selalu mengkliping tulisan itu,lalu menempelkanya ditembok,yang memang dengan sengaja memanas-manasi hati adiknya. Gus Mus pun tak mau kalah. Ia melakukan hal yang sama,belajar menulis di media masa, lalu membalas perlakuan iseng kakanya dengan sedikit lebih. Jika tulisanya dimuat guntingan koranya ditempel menutupi guntingan tulisan sang kakak.
Di saat para kiai sedang heboh dengan Goyang Inul yang dinilai maksiat dan berbau pornografi,Gus Mus malah memamerkan lukisanya yang berjudul Berdzikir Bersama Inul (2003). Dalam lukisan itu digambarkan Inul sedang berjoget ngebor dikelilingi para kiai bersorban yang duduk mengitarinya.
Selain menjadi ulama,Gus Mus dikenal sebagai penyair dan penulis buku yang kreatif,di samping sebagai kolumnis di media massa. Ia sering kali tampil bersama para penyair besar nasional semacam WS Rendra,Taufik Ismail,Emha Ainun Najib,Umar Kayam,Zawawi Imron,dan lain sebagainya. Keakrabanya debgan dunia syair seakan telah menjadi bagian dalam hidupnya.
Gus Mus juga seorang penulis produktif, di antara buku-bukunya adalah Dasar-dasar Islam, Ensiklopedia Ijma`, Nyamuk-nyamuk perkasa dan Awas, Manusia; Kimiya-us Sa`adah ; Syair Asmaul Husna; Ohoi, Kumpulan Puisi Balsem ; Tadarus, Antologi Puisi; Mutiara-mutiara Benjol Rubiyat Angin dan Rumput ; Pahlawan dan Tikus ; fikih Keseharian dan lain-lain.
Salah satu karyanya yang berbentuk cerpen lukisan kaligrafi, mendapatkan anugrah Majistra (Majlis Sastra Asia Tenggara). Buku itu dinilai sebagai karya terbaik pada tahun 2003.

17. Prof KH Fathurrahman Kafrawi, MA
Ketua Konstituante, Menteri Agama
Ia mengamalkan pola Posmodern dalam kehidupan. Hidup dan teguh dalam iman agama Islam, tetapi menerapkan logika-logika Barat yang menyuarakan kearifan (shopia). Seperti halnya Mahatma Gandi.
Lahir di Kota Tuban pada 10 Desember 1901. Ayahnya, KH Kafrawi,adalah seorang penghulu Tuban.
Menamatkan HIS Tuban pada tahun 1916. Mondok di Pesantren Jamsaren Solo di bawah asuhan KH Umar,namun ia tidak lama belajar di sana. Semangatnya yang tinggi hingga berani menjadi awak kapal Belanda mengantarkan dirinya sampai di Makkah. Melanjutkan ke madrasah tsanawiyah di Kota Suci itu hingga tamat pada tahun 1919. Tamat madrasah aliyah tahun 1922. Selama menempuh jenjang MTS dan MA di Makkah, ia mencari biyaya sendiri dengan mengajar ngaji.
Setamat dari pendidikan di Makkah,melanjutkan ke Universitas Al-Azhar Cairo,Mesir bidang Perbandingan Agama. Aktif di organisasi Jamaah al-khariyat at-Thalibiyah al-Azhariyah al-Jawiyah. Bahkan menjelang tahun 1925 menjadi ketuanya. Organisasi ini merupakan perkumpulan mahasiswa Indonesia – Melayu yang berdiri pada tahun 1922. Ketua pertama adalah Djan Thaib,mahasiswa asal Minangkabau yang menjadi mahasiswa pertama Indonesia peraih gelar akademis resmi dari Universitas Al-Azhar pada 1919. Denga Djan Thaib ia turut melahirkan dan mengelola jurnal seruan Al-Azhar. Menyandang gelar master perbandingan agama tahun 1927. Rupanya bakat mengamen sebagai penggesek biola di kafe-kafe yang banyak bertebaran di pinggir sungai Nil,tidak hanya cukup untuk biyaya hidup dan pendidikan selama di Mesir, tetapi juga bisa untuk membeli rumah. Anehnya, rumah itu tidak dijual saat ia sudah tamat, tetapi diserahkan kepada mahasiswa Indonesia yang belajar di sana.
Puas belajar di Mesir melanjutkan pendidikan ke negri Belanda dengan masuk Fakultas Hukum Utrech Nederland. Ia sangat akrab dengan Bung Hatta karena keduanya satu angkatan. Bedanya, Bung Hatta tinggal di mess mewah kalangan ningrat,sedangkan dirinya indekos di tempat yang sebaliknya., dengan menjadi agen Koran untuk menyambung biyaya hidup dan pendidikanya. Di Utrech ia hanya menyelesaikan sampai sarjan muda saja pada tahun 1930, tidak sampai Master karena terus dikejar intel dengan dakwaan ekstrimis kemerdekaan.
Melanjutkan ke Community College di London bidang kajian budaya dan perkembangan agama. Pikiranya memang kreatif. Kali ini biyaya hidup dan pendidikan ia dapat dengan mengajar Bahasa Latin,Belanda,dan Inggris untuk anak-anak orang Inggris.
Ia dikenal sebagai seorang pendidik. Sepulang dari pengembaraan dari luar negri,ia mendirikan madrasah Al-Hidayah Al-Islamiyah di Tuban, yang terdiri dari tingkat Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah pada tahun 1936-1941. Sekolah itu sangat maju pada jamanya, hingga yang belajar bukan hanya dari Tuban akan tetapi dari berbagai daerah di Indonesia.
Ia juga menjadikan gedung sekolah itu sebagai Madrasatul Marhaen yang masuk sore hari untuk orang-orang tua. Nama itu diberikan langsung oleh Bung Karno,yang tak lain adalah sahabatnya sendiri.
Menjadi salah satu anggota Pimpinan Masyumi(1945- 1949) mewakili unsure NU. Mengantikan HM Rasjidi sebagai Menteri Agama RI dalam Kabinet Sjahril III (2 Oktober 1946-27 Juni 1947). Bupati Tuban selam tiga bulan (1949). Salah seorang perintis partai NU di Tuban. Anggota DPR RIS (1950-1955). Wakil Ketua Konstituante dari unsure NU (1955-1959). Anggota MPRS dari NU hingga wafat (1966-1969).
Pernah menjadi anggota Cuosangiin, DPR semasa penjajahan tentara Jepang di Indonesia (1942-1945). Menjadi Daidancho,Mayor balatentara Jepang (1943-1946). Anggota BPUPKI (1944-9145). Memimpin geriliya di kawasan Jogja ,Tuban, Randublatung, dan Cepu (1948-1949). Malaksanakan tugas rahasia dari Presiden RI untuk membantu kemerdekaan Tunisia di bidang logistic dan geriliya. Karena tugas yang rahasia itu ia sempat hilang tanpa kabar selama tiga bulan.
Pada tahun 1947 diangkat sebagai Ketua Panitia Perbaikan Sekolah Tinggi Islam, yang kelak pada tahun yang sama berganti menjadi Universitas Islam Indonesia (UII). Sejak itu Kiai Faturahman diangkat sebagai Ketua Badan Wakaf UII hingga akhir tahun 1963, dan diangkat sebagai Guru Besar UII oleh Menteri Pendidikan,Pengajaran,dan Kebudayaan.
Selain itu, ia juga ikut membidani lahirnya percetakan UII, perpustakaan Islam dan Poliklinik NU di Jogjakarta.
Semasa menjabat Menteri Agama, ia menorehkan prestasi yang amat membangakan dan besar bagi Departemen Agama. Dialah yang mengangkat seluruh tenaga kerja di tempat-tempat ibadah menjadi PNS. Karena pengangkatan ini menjadi pondasi dasar berdirinya Departemen Agama hingga kini. Ia juga menjadi konseptor dan ketua panitia pendiri PTAIN (sekarang IAIN atau UIN) di Jogja.
Kiai Faturahman wafat pada 2 September 1969, dalam usia 68 tahun, dimakamkan di Karangjaken, Jogjakrta. Ia memperoleh gelar Bintang Mahaputra Adhipradana (setingkat perdana Menteri) dari pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Presiden BJ Habibie. Sedangkan Bintang-bintang penghargaan lain yang harusnya berhak ia sandang tidak pernah diurus.

18. KH Abdul Mughni (Guru Mughni)
Ulama Panutan Masyarakat Betawi
Selain tak kenal lelah dalam mengembangkan pendidikan,ia juga aktif dalam gerakan kebangsaan. Dalam membela Tanah Air misalnya, ia tak mau setengah-setengah. Terbukti, rumahnya yang berada di Jl Mas Mansyur 38 Tanah Abang, oleh KH Agus Salim dijadikan tempat pertemuan tokoh-tokoh Young Islamiten Bond. Padahal rumah yang dijadikan markas pertemuan kaum pergerakan itu tentu saja bukan tanpa resiko. Naun demi perjuangan, semua itu tetap dilakukannya.
Nama lengkapnya Abdul Mughni. Lahir sekitar tahun 1860 di Kampung Kuningan,Jakarta Selatan.
Semasa kecil ia belajar mengaji pada orang tuanya serta pada beberapa kiai lain di sekitar tempat tinggalnya. Ketika usianya menginjak 18 tahun, ia dikirim ke Makkah untuk menuntut ilmu pada ulama-ulama Makkah. Di sana ia menetap selama 9 tahun.
Pada tahun 1885 ia sempat kembali ke tanah air, namun karena belum merasa puas dengan ilmu yang didapat, ia kembali lagi ke Makkah melanjutkan kembali pengembaraanya dalam menuntut ilmu. Untuk masa yang kedua ini ia menetap selama 5 tahun.
Selam di Makkah ia belajar kepada para ulama besar dari seantero dunia, juga ia menimba ilmu dari ulama-ulama Indonesia yang menetap di Makkah. Di antaranya adalah Syaikh Mahfudz At-Turmusi, Syaikh Nawawi bin Umar Al-Bantani.
Sepulang dari Makkah ia langsung aktif dengan terjun ke medan perjuangan. Karena sejak lama dikenal sebagai anak cerdas, tidak heran kalau sewaktu pulang banyak yang ingin belajar kepadanya. Ia memenuhi permintaan itu.
Guru Mughni mengajarkan kitab Safinatun Najah, untuk Fiqh sebagai pegangan murid dan Fathul Mu`in untuk tingkat guru. Sedangkan materi tauhid mengunakan kitab Kifayatul Awam sebagai pegangan dan tafsir Jalalain untuk pegangan pelajaran tafsir. Untuk pelajaran hadis menggunakan Buchori-Muslim, akhlak menggunakan Minhajul Abidin dan nahwu menggunakan Alfiyah ibnu Malik. Semua rujukan sama persis dengan rujukan yang dipakai oleh pesantren-pesantren yang ada di Indonesia.
Pada tahun 1901, Guru Mughni membangun masjid yang diberi nama Baitul Mughni (dikenal dengan nama masjid Kuningan). Selama proses pembangunan ia tidak mau mengandalkan bantuan masyarakat, kecuali orang itu memberikanya atas kesadaranya sendiri. Pada tahun 1920-an Masjid Baitul Mughni merupakan Masjid terbesar di Jakarta Selatan.
Pada tahun 1926, Guru Mughni mendirikan Madrasah Sa`adatut Daroin di atas tanahnya sendiri, yang saat itu madrasah tersebut adalah madrasah satu-satunya yang ada di daerah Kuningan. Sebagai wiraswastawan yang berhasil Guru Mughni selalau bermurah hati pada semua orang, apalagi untuk urusan perjuangan. Tidak heran kalau dalam melaksanakan seluruh proses pengajaran pendidikan ia menggunakan biaya sendiri. Bahkan ketika masih bermukim di Makkah, ia selalu memberikan bantuan pinjaman kemah-kemah pada jamaah haji Indonesia, dan rumahnya yang ada di Kota Makkah dijadikan wakaf tempat tinggal bagi para pelajar Indonesia yang bermukim di sana.
Guru Mughni adalah salah satu dari ulama terkemuka yang pernah ada di Jakarta. namanya disejajarkan dengan ulama-ulama besar lain semisal Guru Marzuqi, Jatinegara; Guru Majid, Pekayon; Habib Usman, Petamburan; Guru Mansur; Jembatan Lima; Guru Mahalli,Kebayoran; Habib Ali,Kwitang; dan lain-lain.
Karena terlalu semangat dalam berdakwah,ia seringkali tidak memikirkan kesehatan dirinya. Bahkan ketika badanya sudah sakit-sakitan pun ia tetap melayani permintaan umatnya. Pernah ia harus digotong dengan tandu untuk bisa berdakwah di masjid pecandraan (kini Blok S) Kebayoran Baru. Memang, pada saat itu sakitnya semakin parah, orang yang mengundang Guru Mughni sudah maklum. Mereka harus menyediakan dua orang tukang gotong tandu lengkap dengan kursi ayunanya.
Pada hari Kamis 5 Jumadil Awal 1354 H sekitar pukul 14.00 WIB Guru Mughni menghembuskan nafas terakhirnya. Guru masyarakat Betawi itu wafat dalam usia 70 tahun. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman keluarga di kawasan Grand Kuningan (depan hotel JW Marriot).
19. KH Imam Zarkasyi
Ulama Ahli Bahasa
Salah seorang dari Alumni pondok pesantren Gontor Ponorogo, Jawa Timur yang bernama Nurkholis Majid, selepas dari pendidikanya ia mengabdikan dirinyauntuk mengajar para santri yunior di pesantren tersebut, dan disela-sela mengajar dia menyampaikan kalimat yang menarik yaitu “Jangan Marfu karena Gontor Apalagi Mansub karena Gontor”.
Di lahirkan pada tanggal 21 Maret 1910 M. di desa Gontor, kecamatan Malarak,12 Km, arah tenggara kota Ponorogo, Jawa Timur. Ayahnya R Santoso Besari dan Ibunya Rr Sudarmi.
Pendidikan awalnya ditempuh di Hollandsch Inlansche School (HIS) Ongko Loro, setingkat sekolah dasar di Ponorogo (1923). Di sela-sela pendidikanya itu ia nyantri di Pondok Josari. Ia juga pernah nyantri di Pesantren Darul Hikmah,Jerasan Ponorogo,sebuah pesantren yang menggunakan system salaf dengan menekankan ilmu alat (Nahwu,Sharaf) dan fiqh.
Setelah menyelesaikan pendidikanya di sekolah Ongko Loro,pada tahun 1927 ia melanjutkan karir intelektualnya di pesantren Jamsaren Solo. Sewaktu di Solo ia belajar di Madrasah Mambaul Ulum, madrasah yang didirikan R Hadipati Sosrodiningrat dan R Penghulu Tafsirul Anam pada tahun 1905. Ketika duduk di kelas VIII,ia juga belajar Bahasa Arab di madrasah Islamiyah di bawah asuhan Bahasywan dan Awadh Syahbal. Saat itu madrasah Islamiyah tersebut dibawah pimpinan Sayid Muhamad al-Hasyimi,seorang guru dari Tunisia.
Di samping belajar di lembaga ini,ia juga belajar di Holland Arabsche School (HAS), suatu lembaga pendidikan yang didirikan oleh colonial Belanda sebagai realisasi dari politik etis pada permulaan abad ke-X. Ia juga sempat belajar di madrasah Arabiyah “Al-Islam” Solo.
Selepas belajar beliau mendirikan pesantren modern Darussalam Gontor, yang didirikan oleh tiga bersaudara yaitu KH Ahmad Sahal, KH Zainudin Fanani dan KH Imam Zarkasyi sendiri. Gagasan pendirian pondok ini bermula dari kongres umat Islam di Surabaya (1926), kongres yang memutuskan untuk mengirim wakilnya dalam Kongres Islam di Makkah. Setelah melalui proses pencarian cukup panjang mengingat sulitnya mencari orang yang mumpuni dalam Bahasa Arab inilah yang mendesak keinginan Ahmad Sahal untuk mendirikan pesantren yang bisa melahirkan santri-santri yang lancar Bahasa Arab. Gagsan ini kemudian didiskusikan dengan adik-adiknya, Fanani dan Zarkasyi.
Dari latar belakang ini kemudian ia mendirikan Pesantren Gontor,dengan menghidupkan kembali pesantren ayahnya,Kiai R Santoso Besari yang sudah lama fakum,mereka kemudian menyelengarakan system pendidikan yang berorientasikan dengan bahasa Arab dan Inggris. Kemudian lahirlah Pesantren yang dikembangkan dengan memadukan pola pendidikan Universitas Al-Azhari Kairo, Mesir dengan pola pendidikan Pondok Syangit di Afrika Utara,Universitas Aligar di India,dan Taman Pendidikan Shantiniketan di India.
KH Zarkasyi, selalu berupaya memadukan antara unsure padang (kemampuan dalam menagkap nilai kemoderenan dan dinamika Islam) dengan Jawa (ketekunan dan kedalaman mempelajari Islam) yang tercermin lewat perilakunya dan jiwapondok Gontor adalah jiwa gigih dan kerja keras.
KH Imam Zarkasyi wafat pada tanggal 30 April tahun 1985 di rumah sakit Madiunsetelah 25 jam koma karena terkena strok (pecah pembulu darah di otak), dan dimakamkan di Pemakaman keluarga Pondok Pesantren Ponorogo,Gontor,Jawa Timur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar